Bahar Smith Dan Pohon
By Admin
Penulis : Helmi Hidayat
nusakini.com - Saya meninggalkan tahun 2021 dengan hati tersangkut di pohon. Ini gara-gara di tahun itu saya membaca berita di medsos berjudul ‘Habib Bahar: Kalau Tidak Ada Ulama Arab di Indonesia, Dudung Masih Sembah Pohon’. Dudung yang dimaksud dalam berita itu adalah KSAD Jenderal TNI Dudung Abdurrahman.
Bahar Smith melupakan empat hal penting saat merendahkan religiositas nenek moyang Nusantara lalu merendahkan derajat pohon.
Pertama, Bahar Smith lupa bahwa keimanan seseorang bukan akibat faktor manusia, melainkan faktor Allah SWT. Nabi Muhammad SAW saja oleh Allah hanya diwajibkan menyampaikan nilai-nilai langit kepada umat manusia. Selebihnya, Allahlah yang membuat bangsa Arab dan bangsa lain yang menangkap ajaran langit itu cinta pada keimanan, lalu Allah jadikan keimanan itu indah di hati mereka [QS Al Hujuraat (49): 7]. Jadi, bukan ulama Arab itulah yang membuat masyarakat Nusantara beriman, tapi Allahlah yang menghiasi keimanan itu di hati mereka. Ulama hanya menjalankan peran.
Kedua, Bahar Smith sudah menguak lebar-lebar jurang segregasi antara keturunan Arab dan bukan Arab di Indonesia. Padahal, sejak Soempah Pemoeda 1928 dan proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945, mestinya tak ada lagi dikotomi Arab dan non-Arab di Indonesia, tak ada lagi garis pemisah keturunan Cina dan pribumi di negeri ini. Indonesia adalah negara-bangsa. Siapa saja yang cinta negeri ini lalu mau berjuang untuk kemegahannya, merekalah bangsa Indonesia tanpa kita persoalkan darah yang mengalir di tubuh mereka.
Ketiga, Bahar Smith tampaknya kurang mendalami sejarah agama-agama di Nusantara. Nenek moyang penduduk negeri ini sebenarnya bukan menyembah pohon, melainkan yakin bahwa pohon dan seisi alam ini bukan benda mati yang muncul tiba-tiba secara mekanistis, melainkan pengejawantahan dari Roh Maha Absolut yang menguasai jagad raya ini. Mereka tidak tahu nama Roh Absolut itu, tapi meyakini keberadaan Zat Adikodrati di luar diri mereka yang menguasai hidup mereka bahkan mengatur alam jagad raya ini. Mereka tidak menyebutnya dengan istilah panteisme seperti disebut Baruch Spinoza!
Cara beragama mereka yang bersahaja seperti ini jangan dikecam karena baru segitulah batas kecerdasan spiritual mereka. Kepada mereka mungkin diturunkan nabi-nabi, mungkin juga tidak. Tapi, bahwa mereka telah mampu menangkap sinyal langit tentang keberadaan Zat Adi Kodrati di luar diri mereka, Zat Maha Perkasa yang menguasai hidup mereka, itu sudah luar biasa. Saat itu, nenek moyang negeri ini telah memiliki potensi dasar untuk menangkap sinyal langit yang lebih besar.
Karena itu, ketika datang agama Hindu lalu kepada mereka diperkenalkan bahwa nama Roh Absolut itu adalah Shang Hyang Widhi yang artinya Tuhan Yang Maha Satu, mereka gampang saja menerimanya. Jadilah mereka beragama Hindu. Ketika datang agama Budha lalu mengajarkan bahwa nama Zat Adi Kodrati itu adalah Nirvana yang artinya Zat Maha Kekal (yang dalam asmaaul husna disebut al-Baaqi, Yang Maha Kekal), mereka juga gampang menerimanya. Jadilah mereka beragama Budha.
Maka, ketika para ulama Arab datang ke Nusantara lalu pelan-pelan memperkenalkan nama Zat Adi Kodrati yang sama itu adalah Allah Subhaanahu wa Taala, mereka pun gampang sekali menerimanya. Jadilah mereka Muslim. Inilah yang menjelaskan bahwa nenek moyang bangsa ini adalah orang-orang dengan tingkat religiositas yang sangat tinggi. Agama apa pun yang datang kepada mereka, selagi memperkenalkan konsep ketuhanan yang maha esa, mereka terima dengan lapang dada.
Bandingkan dengan bangsa Arab sebelum Islam. Kepada mereka sudah diperkenalkan nama Allah ribuan tahun sejak Nabi Ibrahim AS membangun rumah Allah di Makkah. Penduduk negeri di sekeliling mereka juga menyebut-nyebut nama Allah dalam ibadah mereka. Tapi apa yang terjadi? Bukan bersyukur diperkenalkan nama Allah, Tuhan yang Maha Satu, eh, bangsa Arab sebelum Islam malah mengimpor patung-patung untuk disembah.
Keempat, Bahar Smith rupanya lupa bahwa hampir semua agama menjadikan pohon sebagai simbol komunikasi dan aktulisasi diri dalam peribadatan mereka, tapi bukan objek sesembahan! Umat Kristiani, misalnya, menggunakan pohon cemara sebagai simbol kegembiraan merayakan kelahiran Yesus Kristus. Umat Yahudi menggenggam batang pohon saat mereka bermunajat di dinding ratapan. Sidharta Gautama menerima wahyu di bawah pohon Bodhisatwa. Umat Majusi awalnya menggantung jenazah kaum mereka di pohon agar tubuh-tubuh mati itu tidak mencemari bumi yang suci, lalu memutuskan membakar tubuh-tubuh mati itu agar tak mencemari udara yang juga suci.
Pendek kata, pohon selama ini memang sudah menjadi sarana bangsa-bangsa terdahulu sebagai simbol aktualisasi peribadatan mereka. Apakah Islam yang datang paling akhir juga menjadikan pohon simbol komunikasi dan aktualisasi diri?
Siapa bilang tidak? Para ulama dan ustaz sering berceramah di masjid bahwa Nabi Muhammad SAW melakukan mi’raj di malam hari ke Sidratul Muntaha. Tahukah Anda (juga Bahar Smith) apa arti Sidratul Muntaha? Artinya adalah Pohon Penghabisan. Kamus Bahasa Arab Al-Munjid menerjemahkan kata “sidrat’’ sebagai ‘’syajarah’’ yang artinya pohon. Dalam QS An-Najm (53) ayat 13 – 16 disebutkan di Pohon Penghabisan inilah Nabi Muhammad SAW untuk kali kedua melihat Jibril AS dalam rupanya yang asli dan di dekat pohon itu terdapat surga.
Mengapa ditambah kata ‘’muntaha’’ yang berarti ‘’penghabisan’’ (ultimate tree)? Sejumlah ahli tafsir kontemporer menerangkan, karena di jazirah Arab jarang tumbuh pohon dan masyarakat di sana merindukan pohon-pohon yang hijau hingga bendera Kerajaan Arab Saudi pun berwarna dasar hijau, maka Allah SWT melukiskan keindahan tempat yang dilihatnya saat bermi’raj itu dengan sebutan pohon – Pohon Penghabisan, pohon terakhir yang keindahannya menelan semua keindahan jutaan pohon di muka bumi.
Bahar Smith masih ingin merendahkan pohon?
Dalam Bahasa Indonesia, setiap kata dengan huruf awal ‘’p’’ pasti luluh saat berhadapan dengan awalan ‘’me’’ – misalnya kata pompa jadi memompa, kata pukul jadi memukul, kata pacul jadi memacul.
Sekarang perhatikan kata ‘’pohon’’? Tambahkan awalan ‘’me’’ di depannya niscaya ia berubah jadi kata ‘’memohon’’. Jadi, apa yang sesungguhnya dilakukan seseorang saat memohon? Suruh Bahar Smith menjelaskannya !. (*)