Catatan M. Nigara, Alhamdulillah King Bukan King Itu

By Abdi Satria


M. Nigara

Wartawan Olahraga Senior

TERKEJUT, marah, dan sebel. Itu gejolak di hati saya begitu mendengar berita Liem Swie King ditangkap dengan tuduhan menyelundupkan 73 ribu benih lobster. Maklum, meski saya tak terlalu lama meliput cabang olahraga bulutangkis, King punya kesan sendiri bagi karir jurnalistik saya.

Desember 1979, saat saya menjadi wartawan Majalah Olahraga Olympic, pimpinan Bang Tabrin Tahar catatan, saat itu hanya ada dua majalah olahraga, Olympic dan Prestasi, tugas kedua saya mewawancarai Ivana Lie yang baru saja meraih medali emas SEAG-X, 1979, di Jakarta. Alih-alih bisa mewawancarai Ivana, saya malah dicuekin.

Hampir tiga hari saya tetap gagal mewawancarai Ivana yang saat itu memang sedang naik daun untuk mengejar Verawaty. Putus asa? Sebagai anak yang besar di Kampung daerah Guntur, termasuk daerah bronx di Jakarta Selatan, tidak ada istilah itu.

Dulu, kami selalu harus 'bertarung' ya untuk istilah positif terkait persaingan, atau juga bertarung dalam arti negatif, berkelahi. Jika belum bocor-bocor dan babak belur, tidak ada istilah mundur. Bahkan dulu, kami biasa, kalah dari depan, kami harus menyikat dari samping. Artinya sejak kecil hidup kami memang ditempa sangat keras.

Maka urusan Ivana bukan persoalan besar, catatan setelah saya pindah ke Kompas 1981 dan BOLA 1984, Ivana menjadi sahabat saya bahkan istri saya di Majalah Wanita Femina pernah membuat liputan khusus dengan gadis Priangan itu. Tapi, persoalan waktu dead line tak bisa ditawar. Saat saya tak mungkin lagi mengejar Ivana karena dia sudah terbang ke luar negeri, pilihan alternatif, bukan tugas utama, adalah Liem Swie King.

Saat itu King sedang berlatih di hall bulutangkis, sebelah hal C, di depan kantor Kemenpora, Komplek Gelora Bung Karno. Awalnya agak ragu, maklum King adalah bintang besar. Ia sudah dua kali menjadi juara All-England (1978 dan 79).

Tapi, King memang luar biasa. Ia menyambut saya dengan senyum dan suara yang medok Jawa. Maka jadilah tulisan kedua saya di edisi Majalah Olympic itu dengan judul: Ivana Lie di Mata King.

Bang Tabrin sempat memuji saya. "Wartawan muda, mesti kreatif," katanya saat rapat redaksi. "Gak boleh ada istilah gagal, dalami persoalan, hindari permasalahan, temukan jalan keluar. Nih kayak ini!" lanjut Bang Tabrin sambil mengangkat majalah edisi itu dan memperlihatkan tulisan saya.

Sungguh, rasa bahagia saya begitu luar biasa. Kebahagiaan itu saya ceritakan dengan King yang saya yakin benar tidak tahu, tidak kenal dengan saya, tapi sebagai juara, ia bersikap sangat luar biasa.

King sangat dekat dengan Bang Tabrin, dan tiga senior saya Bang Richard, Bang Norman Chaniago, serta Mas Bambang Sanjoyo yang juga dikenal sebagai Bambang GT (Guru Tenis) serta akupunturis kondang.

Jadi, begitu ada berita tentang King yang diduga menyelundupkan benih lobster, keprohatinan muncul. Kisah di atas sekonyong-konyong menyeruak. Tapi, Kamis (16/7) DR. Lilik Sudarwati, mantan pebulutangkis yang juga pengurus KONI bersama saya, memposting Sport.Tempo.co, wawancara King, hati saya jadi plong.

"Itu bukan saya. Kebetulan namanya saja yang sama," tukas King.

Kisah ini adalah pelajaran berharga untuk adik-adik ata anak-anak muda yang saat ini menjadi jurnalis agar terus dan terus menjaga chek and re-chek saat menurunkan tulisan. Pedoman Cover Both Sides atau faktor keberimbangan juga harus diterapkan. Dengan begitu, maka kita akan terhindar dari kesalahan, terhindari dari penghakiman dan fitnah.

Bayangkan, jika kita dalam posisi Liem Swie King, apa yang akan kita lakukan? Nama kita kadung buruk lantaran dituding berbuat kriminal. Bagaimana keluarga kita? Bagaimana atasan kita di kantor?

Ada istilah Fitnah lebih kejam dari pembunuhan, itu benar. Orang yang membaca tentang berita King menjadi penyelundup sangat mungkin tidak membaca berita tentang sanggahan itu.

Tetap semangat King!