Catatan M. Nigara Menyongsong Piala Dunia U20: Djamiat Dalhar Wafat, Tim Junior Dirombak (Bagian ke-6)

By Abdi Satria


FIFA pasti tidak asal-asalan saat menunjuk Indonesia ke Piala Dunia Junior, 1979, Tokyo, Jepang, untuk mengisi slot yang kosong. Irak (juara Asia junior 1978) dan Korea Utara peringkat 3-nya, menolak karena garis politik yang anti Amerika, sementara piala yang diperebutkan berlabel Coca Cola.

Apa buktinya? Menurut David Selaksmono, ujung tombak tim nasional junior kita di Kejuaraan Asia tersebut, mereka tiga kali menang. "Masing-masing 2-0 menang atas Yordania dan tuan rumah Bangladesh. Dan kita juga menang atas Malaysia 4-0, " kata David.

Di perdelapan final, Irak yang kemudian menjadi juara setelah mengalahkan Korsel di final, tidak mudah mengalahkan kita. Skor 2-0 diraih Irak dengan kerja sangat keras.

"Bukan kami memuji-muji diri sendiri, tapi itu fakta yang ada," lanjut David. "Kekuatan kami sebenar beda tipis saja," lanjut pemain asal Kkub Jayakarta itu, Senin (13/7) siang, saat berbincang santai dengan saya, Bambang Nurdiansyah, dan Mundari Karya, di Bakso Lapangan Tembak ring road stadion Utama GBK, Jakarta.

Masih kisah David, persiapan tim nas waktu itu cukup panjang. "Lebih dari setahun," tukas David. "Kami melakukan uji coba ke beberapa daerah dan luar negeri," katanya lagi.

Djamiat Dalhar, sang pelatih dan Ipong Silalahi asistennya menerapkan pola kekeluargaan. "Kami diperlakukan sebagai adik. Mereka tegas tapi juga lembut," kenang David dengan wajah serius.

Pulang dari Bangladesh, para pemain kembali ke klub masing-masing. Seluruh anggota diistirahatkan, tapi tim tidak dibubarkan.

Namun semuanya berubah total setelah Djamiat wafat, 23 Maret 1978. Bang Ali, Ketum PSSI, langsung menunjuk Sutjipto Suntoro untuk menggantikan Djamiat. "Saya kaget, kok Bang Ipong tidak dimasukkan," kenang David.

Ya, Mas Gareng (Sutjipto Suntoro) yang kala itu masih terikat sebagai pelatih Buana Putra, memilih Madjid Umar sebagai asisten. "Mestinya Bang Ipong bukan Bang Majid yang jadi asisten, " David akan menekankan kalimat itu.

Alasan David Sulaksmono, Bang Ipong sudah paham betul seluruh pemain. Jadi, tidak perlu lagi meraba-raba. Keterkejutan David dan beberapa teman eks Puala Asia Junior makin besar ketika Mas Gareng mengubah pemain yang ada.

Beberapa nama hilang dan beberapa masuk. Dan yang membuat David agak gusar hilangnya nama Suwarto, anak Jawa-Deli (istilah anak Jawa yang lahir di Sumut), kiper Persiraja Banda Aceh. Posisinya digantikan Facrizal, kiper Perkesa-78 (Persatuan Sepakbola Kebayoran Selatan) bentukan Pak Acub Zainal.

"Saya tak membandingkan Suwarto dengan Fachrizal, keduanya sahabat saya. Tapi, Suwarto itu kiper yang sangat istimewa," tutur David.

Tjatur dicoret

Tidak sampai di situ. Saat persiapan yang sangat minim untuk menuju ke Tokyo itu, sang kapten Tjatur Sudarmanto dicoret. Alasan yang muncul di media, bek tangguh asal klub Jayakarta itu melakulan indisipliner.

"Saya, Banur, dan dua orang lainnya ikut Tjatur malam itu, tapi kenapa cuma dia yang dicoret? Kami cukup shock waktu itu," lanjut David yang dibenarkan oleh Bambang Nurdiansyah.

Peristiwa persisnya dikisahkan oleh Banur. Waktu itu sekitar jam 22.00 WIB, tim nasional junior sedang pelatnas di Semarang. "Kami lapar, lalu saya, David, Tjatur, dan dua lainnya keluar hotel. Paling jauh 200 meteran deh. Kami makan di situ kira-kira sekitar 20-30 menit, wong makan di warung pinggir jalan," tutur Banur.

Besoknya Mas Gareng langsung mengumumkan Tjatur dicoret. Timbul banyak pertanyaan dari para pemain, khususnya eks. Piala Asia 1978. Satu di antaranya Mas Gareng tidak tahan pressing dari Media. Satu di antaranya Mas Gareng dibilang takut untuk mengurangi pemain asal Jayakarta yang jumlahnya memang paling banyak. Kalau tidak keliru dari 22 pemain, delapan berasal dari Ragunan, markas klub yang dibentuk AM Hutasoit atas perintah Gubernur DKI, Bang Ali. Nah, saat itu Ketum PSSI, ya Bang Ali.

Jadi? Ya dicoretlah Tjatur. Mas Gareng bukan saja ingin membuktikan tidak takut dengan tekanan ketum, tapi ia juga ingin memperlihatkan kepribadiannya yang tidak bisa diatur-atur oleh siapa pun. "Kita ini pemain dan pelatih, kagak bole ada nyang ngatur-ngatur dari luar," itu selalu celoteh Mas Gareng pada kami para wartawan.

Mas Gareng adalah sosok paling istimewa bagi kami para wartawan muda yang mangkal di kantor PSSI. Sosok yang senang berbagi apa saja. Sosok yang selalu mengayomi. Mendahulukan kepentingan orang dari pada diri sendiri. Saya mengalami langsung hal itu (saatnya akan saya kisahkan tentang hal yang paling istimewa dan sangat berkesan bagi saya). Tapi begitu masuk ke wilayah prinsip, Mas Gareng bukan orang yang mudah ditawar.

Jadi, selain memang tidak pernah berpikir untuk bisa tampil di putaran final Piala Dunia Junior itu, ada goncangan-goncangan soal perombakan tim serta pelatih. Apalagi waktunya sangat mepet. "Kami hanya 2 sampai 4 kali uji coba. Yang paling berat hanya saat uji coba lawan Warna Agung di Lampung," lanjut David.

Dengan modal yang serba pas-pasan itulah tim bertolak ke Tokyo. Lepas dari hasilnya yang sama-sama telah kita ketahui, pengalam tampil di Piala Dunia itu sangat berarti khususnya untuk para pemain dan umumnya sebagai catatan sejarah PSSI.

Begitu kisah kenangan kita tentang Piala Dunia Junior 1979. Kisah ini sengaja saya turunkan khususnya saya peruntukan bagi anak-anak, adik-adik kita yang akan berlaga Mei-Juni 2021 di Kejuaraan Dunia under 20. Semoga mereka bisa memanfaatkan kesempatan emas ini dengan sebaik-baiknya. 

Jangan lupa, kalian adalah anak-anak dan pemain-pemain yang paling beruntung karena bisa tampil di puncak kegiatan sepakbola dunia. Jaga terus asa kalian.

Sampai jumpa seri tulisan lain dari saya. Mohon maaf jika ada kekeliruan, ketersinggungan dan sejenis. Tidak ada gading yang yang tak retak..

Maju terus sepakbola Indonesia!!!

M. Nigara 

Wartawan Sepakbola Senior