NATURALISASI, mungkinkah PSSI kembali melakukannya? Pertanyaan ini menyeruak selepas Jumat (10/7) pagi, Menpora Zainudin Amali menetapkan Arena-GBK sebagai head quarter dan Press Center Piala Dunia U20, Mei-Juni 2021. Seperti biasa pro dan kontra juga kembali marak.

Kenapa tidak?

Saya ingin mengajak kita semua mencermati dengan hati dan pikiran terbuka terkait perkembangan tim nasional negara-negara: Italia, Jerman, Prancis, dan Inggris. Keempatnya adalah negara-negara yang pernah menjadi juara dunia.

Italia dan Jerman masing-masing 4 kali juara, Inggris 1 kali. Sementara Prancis 2 kali, termasuk tahun 2018. Hebatnya, dari sekitar 180 juta penggila sepakbola tanah air, banyak di antara mereka termasuk pendukung fanatik keempat negara itu.

Lho, apa buktinya? Setiap gelaran Piala Dunia, tidak ada acara nonton bareng yang sepi dari pengunjung. Yang paling dramatis tahun 2002, RCTI pernah menggelar nonton bareng di Stadion Utama, Senayan. Penonton yang hadir hampir 100.000 orang.

Indonesia main? Pasti bukan. Ahad 30 Juni 2002 itu yang berhadapan di final dan dimainkan di Stadion Internasional, Yokohama, Jepang adalah Jerman vs Brasil. Tapi, fanatisme baik pendukung Jerman maupun Brasil begitu luar biasa. Mereka seolah-olah warga negara kedua finalis itu.

Saya ingin mempertegas bahwa: di sini, di Indonesia, para pendukung keempat negara Eropa di atas begitu masif. Mereka rela merogoh uang dari saku masing-masing untuk membeli tiket, minuman, makanan, bahkan atribut: kostum, syal, ikat kepala, bendera, hingga mereka pun rela wajah-wajahnya dicat sesuai dengan warna bendera negara yang mereka dukung. Ya, seolah-olah mereka bukan warga negara Indonesia.

Tidak ragu

Sekedar mengingatkan, tim nasional Prancis 1980-88 diperkuat Jean Tigana bintang asal Bamako, Mali. Lalu Zinedine Zidane, pemain keturunan Aljazair melanjutkannya 1988-2006 dari tim under 17 hingga senior. 

Begitu juga tim nasional Jerman dari 2009 hingga kini masih diperkuat sederet pemain yang tidak berdarah Jerman. Bahkan melihat kulitnya saja, sangat beda: Jerome Boateng (Ghana), Antonio Rudiger (Sierra Leonean), Leroy Sane (Senegal), Sergey Gnabry, Jonathan Tah (Ivory Coast). Sebelumnya ada Mesut Onil, Sami Khedira (Turki).

Di tim nasional Inggris era 1980an, ada dua bintang berkulit hitam: John Barnes (Jamaica), John Fashanu (British Guiana). Untuk skuad 2020, dari 33 pemain yang masih bersaing untuk menjadi pemain utama, 13 di antaranya berkulit gelap.

Sementara di tim nasional Italia era 2010, ada Mario Balotelli (Ghana). Kulitnya sangat gelap jika dibandingkan dengan rekan-rekannya. Untuk skuad 2020, ada juga striker berkulit gelap asal Pantai Gading, Moise Kean.

Sampai di sini saya berharap kita semua paham persoalan naturalisasi. Artinya, negara sehebat Jerman, Italia, Prancis, dan Inggris saja tak ragu merekrut pemain yang 100 persen bukan pribumi.

Jadi, apakah kita tetap alergi pada naturalisasi? Kita tetap akan menentangnya? Tentu saya kembalikan pada anda sekalian.

Bagi saya, saat ini naturalisasi adalah jalan pintas terbaik. Kita tentu tidak ingin tampil biasa-biasa saja di Piala Dunia U20 tahun depan. Bahkan kita tentu tidak ingin menjadi lumbung gol bagi setiap lawan. Kita berharap bisa sukses sebagai penyelenggara dan sebagai peserta.

Jika harus mengandalkan anak-anak yang ada, tanpa bermaksud melemahkan, kualitas mereka masih sangat jauh. Dan Shin Tae-Yong sendiri bukanlah David Copperfield yang 'mampu memindahkan' Menara Eiffel dan menembus tembok Cina hanya dengan bantuan selembar kain.

Tetapi, PSSI pun tidak harus asal-asalan dalam melakukan naturalisasi. Apa yang pernah dilakukan selama ini, harus ditinggalkan. Tahun 2008-2009 beberapa wartawan sepakbola senior, sebut saja: Reva Deddy Utama (Antv), Yesayas Oktovianus (Kompas), Erwiyantoro, dan saya (harian Go Sport) pernah ditugaskan oleh PSSI untuk membuka jalan proses naturalisasi.

Waktu itu kami terbang ke Belanda. Ide kami diawali dengan kisah lama Giovanni van Bronckhorst. Waktu itu tahun 1990, Ketua Umum PSSI, Kardono didatangi keluarga Giovanni.

Singkatnya sang anak siap memilih Indonesia asal dapat jaminan bisa main di tim nasional. Sayangnya tidak ada jaminan hingga akhirnya Belanda tetap menjadi pilihan. Giovanni berdarah campuran ayah Belanda dan Ibu Saparua, Maluku.

Nah, pemain potensial yang seperti Giovanni, sangat banyak. Dan itu yang jadi landasan berpikir kami saat 2008-2009. Tapi, di tengah jalan, PSSI mengubahnya. Dan akhirnya terkesan serampangan saat menentukan pemain untuk di-Indonesia-kan. Akibatnya prestasi yang diharapkan, tetap tak kunjung datang.

Nah kedepan, pilihan untuk naturalisasi harus benar-benar dengan dasar kualitas. Artinya, jika PSSI memilih pemain untuk di-Indonesia-kan, harus benar-benar berkualitas. Dan, tidak perlu lagi mengandalkan pemain yang separuh Indonesia. Pelajaran dari Jerman, Italia, Inggris, dan Prancis hendaknya bisa jadi panutan dalam menentukan naturalisasi itu.

Soal ada yang tidak suka, ya biarkan saja, toh mereka pun tidak bisa memberikan jaminan apa-apa agar tim nasional kita meraih prestasi.

Semoga bermanfaat.

M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior