Catatan Redaksi: Nasionalisme

By Admin


nusakini.com - MARI bicara sedikit tentang nasionalisme. Sesuatu yang dengan sedikit ‘ganjil’ disebut sebagai ‘imagined Communities’ (komunitas imajiner) oleh Benedict Anderson dalam buku lawasnya.

Barangkali, Benedict memang ada benarnya. Nasionalisme adalah semacam ‘panggilan’ naluriah. Sejenis rasa keterikatan dengan ‘akar’ paling terdalam dari jati diri dan identitas kemanusian kita. Dia adalah perluasan identitas dari jiwa purba kita yang melekat dalam rasa keterikatan pada keluarga, kampung halaman, suku atau puak.  

Nasionalisme adalah ‘wilayah’ batin yang direkatkan dengan ‘wilayah’ tanah dan air, rumah dan kampung. Tempat peneguhan identitas diri dari kecemasan akan kesendirian.

Nasionalisme mungkin memang adalah hasil imajinasi komunitas, namun dalam realitas, imajinasi ini sanggup membuhulkan sebuah perubahan dan melahirkan peradaban dunia. 

Hal ini pernah dituliskan Barbara Ward dalam bukunya “Lima Pokok Pikiran Yang Mengubah Dunia”, di mana ada lima pokok pikiran yang mampu mengubah dunia –salah satu di antaranya adalah nasionalisme ini.

Namun bagaimana pun, nasionalisme ini punya dinamikanya sendiri. Dia hadir tidak dalam ruang ‘tabula rasa’. Naluriah yang melekat di dalamnya adalah semacam ‘janin’ bayi bisa tumbuh mekar namun juga bisa kerontang. Dengan kata lain, nasionalisme bisa ‘mengeras’ dan mewujud dalam sifatnya yang ekstrim. Fasisme adalah salah satu efek keras dari nasionalisme yang demikian mengental.

Nasionalisme juga bisa redup seiring dengan semakin semrawutnya identitas manusia. Dunia postmodern kemudian menghadirkan sejenis paradox baru tentang bagaimana manusia menjawab identitas dirinya. Di satu sisi, Internasionalisme hadir dan kemudian menegasi batas-batas kewilayahan negara. Dia kemudian mewujud dalam berbagai tautannya yang baru, seperti persatuan berdasar keagamaan, globalisasi atau bentuk lainnya. Di sisi lain, identitas manusia justru semakin meruncing dalam ruang-ruang sempit sukuisme, ras dan lain-lain.

Lalu bagaimana masa depan nasionalisme? Terus terang, saya tak tahu. Yang pasti ketika masih ada di antara kita yang bergetar saat keindonesiaan kita disebut. Ketika masih banyak di antara kita yang tergugah saat sang Merah Putih berkibar dan memenuhi rongga kebangsaan kita, masih ada harapan.

Selama rasa itu masih ada, kita masih mampu menaruh kepercayaan akan bangsa dan negara ini di masa depan. [Redaksi]