Catatan Rusman Madjulekka: Anies , JIS dan DNA Sepak Bola

By Abdi Satria


JAKARTA International Stadium (JIS). Itu nama stadion sepakbola megah dan modern di utara kota Jakarta. Kalau dari arah Bandara Soekarno Hatta (Soetta) melalui jalan tol dalam kota, fisik bangunan dengan konstruksi berkelas dunia itu nampak mencolok. Apalagi pada malam hari.

 Stadion yang kabarnya akan bersalin nama jadi stadion “Mohammad Hoesni Thamrin” ini dibangun masa Gubernur Jakarta, Anies Baswedan. Ia serius dan getol ikuti setiap prosesnya. Mengecek dan monitor secara periodik. “Ini hadiah terbesar bagi sepakbola Indonesia menatap prestasi dunia,” kata Mochamad Iriawan, Ketua Umum PSSI.   

 Urusan sepakbola dan stadion, menurut saya, tanpa mengabaikan yang lain, Anies- begitu ia akrab disapa- termasuk kepala daerah yang peduli dan atensinya tinggi. Ia rela merogoh kocek APBD puluhan hingga ratusan miliar. Stadion mini dan beberapa lapangan bola rakyat di setiap kecamatan yang dulunya tak terurus direnovasi dan diperbaikinya. Ia meninggalkan legacy. Sampai ada masyarakat yang mengusulkan untuk mengabadikan nama sang gubernur pada salahsatu lapangan bola tersebut. Ia menolak.

________________________

 Tak banyak yang tahu.Termasuk saya baru tahu. Kalau sebenarnya Anies memiliki DNA bola. Dalam tubuhnya mengalir darah sepakbola yang menurun dari kakeknya, A.R Baswedan.Minimal kata orang ada benang merahnya.Tidak ujuk-ujuk.Dikisahkan,pada masa revolusi kemerdekaan, sang kakek bergabung dalam perkumpulan sepakbola “Al Nasher” - anggota klub “Soerabajasche Voetbal Bond”- yang merupakan embrio klub sepakbola Assyabaab Surabaya. 

Meskipun A.R. Baswedan lahir ditengah-tengah masyarakat yang diisolasi oleh pemerintah kolonial, namun pergaulannya melampaui batas dan sekat etnisnya. Hal itu ditunjukkan ketika dirinya menapaki jejak sebagai aktivis perjuangan kemerdekaan bersama aktivis dari etnis Jawa, Madura, Melayu, Ambon, Celebes, Tionghoa dan lainnya.    

Menurut penelusuran sejarah, saat itu di wilayah Ampel Surabaya, yang banyak berdomisili warga keturunan Arab, berdiri perkumpulan bola bernama Al Nasher. Pada awal didirikan oleh Yislam Murtak, Salim Barmen, Mohammad bin Said Martak, dan Mohammad Bahalmar, Al Nasher hanya sebuah perhimpunan olah raga yang tujuannya untuk menunjukan eksistensi masyarakat keturunan Arab, sekaligus wadah mereka berolah raga. Bukan hanya sepak bola, tapi juga ada pencak silat dan bola voli. 

Baru di tahun 1932 Al Nasher kemudian bergabung dengan NIVB (Nederlandsch Indische Voetbal Bond) atau federasi sepakbola di Hindia Belanda sehingga mereka bisa mengikuti kompetisi internal federasi sepakbola Surabaya atau SVB (Soerabhaiasche Voetbal Bond). 

Kemudian pada masa pendudukan Jepang, kompetisi sepakbola jadi vakum. Al Nasher sendiri sempat berganti nama menjadi Al Faouz. Memasuki era kemerdekaan, tepatnya 6 Juni 1948, diprakasai oleh Zein bin Agil, Aly Bahalwan (Ayah Rusdi Bahalwan-legenda Persebaya), Mochtar, dan Ali Salim, nama Al Faouz kembali diganti menjadi “Assyabaab” dan berkompetisi bersama klub lainnya di Indonesia kala itu seperti Al Badar, Hizbul Wathon, dan Al Hilal.

Pada tahun 1920-an, orang-orang Belanda di kota Surabaya mendirikan organisasi sepakbola, Nederlandsch Indische Voetbal Bond (NIVB). Anggota federasi sepakbola di Hindia Belanda itu bukan melulu orang-orang Belanda, tetapi ada juga orang peranakan etnis Tionghoa, seperti Chung Hua Hui, sebuah organisasi masyarakat Tionghoa yang pro Belanda. 

Untuk menandingi keberadaan organisasi sepakbola elit Belanda tersebut, para pemuda di kota Surabaya juga berinisiatif mendirikan organisasi sepakbola. Namanya “Soerabajasche Voetbal Bond” disingkat SVB yang di kemudian hari dikenal dengan nama Persebaya. 

Ide pendirian SVB berasal dari pemuda lintas etnis kota Surabaya yang dipelopori M.Pamoedji dan Paijo pada 18 Juni 1927. Ada Koen Hian dan Boen Liang dari atnis Tionghoa. Pemuda Arab yang tergabung dalam SVB antara lain A.R Baswedan dan Alamoedi. Anggota lainnya Sijaranamual yang sering dipanggil dengan nama Joenoes berasal dari etnis Maluku. 

Keberadaan SVB sendiri awalnya untuk “meledek” orang-orang Belanda di kota Surabaya yang saat itu lagi demam sepakbola. Tentu berbeda dengan pesepakbola sekarang. Dulu, A.R.Baswedan dkk bermain bola tujuannya hanya satu: sebagai alat perjuangan kultural melawan hegemoni Belanda! 

Penulis: Pengamat Sosial