nusakini.com-Jakarta-Pada dasarnya, dalam syariat Islam, yang dinamakan jaminan utang, haruslah terdiri dari harta, minimal yang bisa ditransaksikan dalam akad jual beli atau jasa. Untuk mencari tambahan modal usaha kecil di rumah, seperti buka warung makan atau sekadar toko kecil, sebagian pegawai atau karyawan di sekitar kita seringkali terpaksa harus melakukan akad pinjaman ke bank.

Mau cari modal dengan jalan menjual sesuatu, tidak ada yang bisa dijual. Apalagi ia hanya seorang karyawan kecil di sebuah perusahaan dan hanya memiliki slip gaji bulanan, atau SK pengangkatan Pegawai Negeri sebagai bukti penghasilan.

Mau bertani, tidak punya lahan. Sementara tagihan rutin kebutuhan harian dan bulanan, tidak bisa lagi ditawar. Kondisi semacam ini sering dialami oleh saudara-saudara kita yang hidup di wilayah urban, yaitu wilayah pergantian antara kota dan desa, dan umumnya merupakan wilayah industri.

Banyak masyarakatnya yang hidup dari mengandalkan kerja di pabrik sekitar tempat tinggalnya, atau sedikit agak jauh ke tengah kota, menuju lokasi industri berada. Di wilayah pedesaan, umumnya masyarakat tidak menghadapi banyak kendala. Sebab, butuh sayur, tinggal pergi ke kebun.

Tetangga pun kadang malah menawari daun singkong di pagar agar dipetik saja untuk tambahan menu keseharian. Sungguh nikmat hidup di desa dan tanpa disadari, setiap hari mereka senantiasa dihiasi dengan sikap tolong-menolong antarsesama.

Kondisi sebagaimana yang dialami oleh saudara-saudara kita yang hidup dengan mengandalkan gaji ini, bukan terdiri dari satu atau dua orang. Namun, banyak pihak yang merasakan, khususnya yang ada di wilayah metropolitan.

Lalu apa yang mereka lakukan, untuk mencari tambahan modal guna meningkatkan penghasilan? Tidak lain dan tidak bukan, menjadikan SK kepegawaiannya, atau slip gaji bulanan sebagai jaminan, guna mendapatkan pinjaman dari pihak yang memiliki modal seperti perbankan.

Kendalanya, sebagian kalangan, sering menyuarakan bahwa mencari tambahan modal lewat bank itu adalah riba, sehingga berujung dosa. Sementara kebutuhan hidup tidak bisa ditawar lagi. Bagaimana syariat Islam memandang pihak yang menjadikan jaminan utang berupa slip gaji atau SK Pegawai Negeri ini?

Apakah tidak boleh seseorang menjadikan kedua bukti penghasilan itu sebagai jaminan? Bukankah ada akad gadai (rahn) dalam Islam, yang bisa dipergunakan sebagai dasar landasan? Hal-hal yang Bisa Dijadikan Jaminan Meminjam uang kepada pihak lain, bukanlah persoalan gampang.

Pihak yang dipinjami terkadang harus memikirkan, apakah kembalinya harta yang dipinjamkan juga gampang. Menagih utang juga merupakan persoalan yang butuh seribu kali pemikiran ulang, sebab yang ditagih adalah orang, yang terkadang menunjukkan sikap lebih garang, daripada pihak penagihnya, si pemilik uang.

Pada dasarnya, dalam syariat Islam, yang dinamakan jaminan utang, haruslah terdiri dari harta, minimal yang bisa ditransaksikan dalam akad jual beli atau jasa. Inilah batasan utama, ketentuan berkaitan dengan penjaminan harta. Akad ini disebut gadai (rahn) namanya. Jika jaminan itu harus memiliki ketentuan bisa dijualbelikan atau disewakan, maka jenis harta jaminan dalam gadai itu, minimal adalah harus terdiri atas barang fisik yang ada (ain musyahadah), atau sedikitnya berupa barang yang bisa dijamin pengadaannya atau penunaiannya (syaiin maushuf fi al-dzimmah).

Kedua jenis barang ini, tidak diragukan lagi, merupakan objek yang bisa dijadikan landasan transaksi, baik dalam jasa atau jual beli. Contoh dari barang yang terdiri dari fisik yang ada (ain musyahadah) adalah sepeda motor, mobil, perabot rumah tangga, yang sekira bila dijual bisa untuk menutupi utang.

Jika tidak boleh dijual oleh pihak yang memberi pinjaman, yaitu saat jatuh tempo, maka justru hal itu dapat menjadi pembatal bagi berlakunya akad gadai (rahn). Sebab, asal-usulnya adanya jaminan utang dalam gadai, adalah terpenuhinya utang dengan jalan menjual barang yang dijaminkan. Ini kunci utamanya, plus waktu jatuh temponya utang. Untuk barang yang sifatnya masih terdiri dari sesuatu yang bisa disifati (syaiin maushuf fi al-dzimmah), maka barang itu ada kemungkinan ada dalam beberapa bentuk, yaitu:

-Berupa fisik yang belum diserahkan, namun sudah dibeli secara jual beli salam, yang bila dijaminkan maka bisa dengan menunjukkan bukti awal berupa nota (invoice) pembelian/kontrak.

-Berupa fisik yang belum diserahkan, namun sudah dibeli secara inden (akad salam, atau juga akad istishna’), yang bisa dibuktikan dengan nota pembelian inden Berupa manfaat pekerjaan yang bisa ditunaikan oleh pihak penjamin, dengan bukti berupa SK kepegawaian

-Berupa manfaat dari gaji/pendapatan pasti bulanan yang dibuktikan dengan slip gaji. Keempat komponen di atas, seluruhnya merupakan masuk dalam rumpun syaiin mauhsuf fi al-dzimmah. Namanya saja sudah fi al-dzimmah, artinya harta yang dijaminkan itu adalah dalam bentuk utang (dain), sebab belum ada di tangan.

Menjaminkan harta yang masih belum ditunaikan namun bisa dijamin pengadaannya semacam ini dikenal dengan istilah dlaman al-dain. Jika jaminan itu berupa fisik, maka disebut juga dengan istilah dlaman al-ain.

Bila jaminan itu berupa pekerjaan yang bergaji, maka dinamakan dengan istilah dlaman al-fi’li atau dlaman al-nafsi. Rahn (gadai) itu merupakan salah satu bentuk dari akad dlaman al-dain dan dlaman al-ain. Jadi, bila jaminan pemenuhan/pelunasan utang gadai itu diperoleh dari gaji, maka menjadikan SK dan Slip gaji untuk bukti jamiinan kepercayaan, hukumnya adalah boleh dengan catatan harus disertai dengan tindakan bisanya gaji itu didebet (dipotong) secara langsung oleh pihak perbankan/pegadaian.

Tanpa adanya syarat pemotongan secara langsung, maka Slip Gaji dan SK Kepegawaian ini tidak ada artinya sama sekali, sebab tidak bisa dijual guna pemenuhan utang gadai. Yang perlu kita garisbawahi, bahwa syarat yang bisa digadaikan adalah barang itu harus terdiri dari sesuatu yang bisa dijual atau disewa.

Pemotongan terhadap gaji, secara tidak langsung sudah memenuhi ketentuan unsur jual beli (bai’), sebab hakikat dari qardl adalah pertukaran fisik uang (barter), cabang dari jual beli. Kesimpulan Menjadikan slip gaji dan SK kepegawaian sebagai tanda bukti adanya “penghasilan” bagi jaminan pemenuhan utang gadai adalah boleh dalam syariat. Tidak ada larangan menjadiikannya sebagai jaminan, sebab tidak melanggar ketentuan yang berlaku terhadap syariat dlaman al-dain, dlaman al-ain, dan dlaman al-fi’li.

Larangan hanya berlaku bila maksud menjaminkan itu adalah “fisik” SK atau slip gajinya. Jika yang dijaminkan adalah “bisanya gaji dipotong” berbekal bukti izin pemotongan berupa dikuasainya SK dan slip gaji oleh pihak pegadaian atau bank, maka akad gadai semacam ini adalah benar dan sah.

Tanpa ada pemotongan maka SK dan slip gaji tidak sah berlaku, karena keduanya tidak bisa dijualbelikan, apalagi disewakan. Bahkan bisa diqiyaskan dengan istilah jual beli barang ma’dum (fiktif). Mengapa? Sebab barang yang menduduki maqam objek yang dibeli adalah terdiri atas slip dan SK yang keduanya hanya merupakan fisik kertas. Keduanya sama sekali bukan aset berharga karena tanpa keberadaan aset penjamin (dlaman al-dain, dlaman al-ain, dlaman al-fi’li) di baliknya.. Di sisi lain, menggunakan bukti penjaminan SK dan slip gaji bisa dilarang apabila ada unsur riba qardli di dalamnya. Tanpa adanya riba qardli, maka sepenuhnya apa yang sudah dijelaskan di atas adalah sah secara syara’. Wallahu a’lam bish shawab. (NU)