Investasi dan Pembiayaan Pariwisata
By Admin
Oleh: Dr. Ir. Arief Yahya, M.Sc.
Menteri Pariwisata
nusakini.com - Rakornas III akhir September 2018 ini Kemenpar akan secara khusus membahas investasi dan pembiayaan sektor pariwisata. Banyak isu yang terkait dengan investasi dan pembiayaan yang harus kita carikan solusinya.
Pertama-tama adalah kebutuhan investasi bidang pariwisata sampai tahun 2024 yaitu 120.000 hotel rooms, 15.000 restoran, 100 taman rekreasi, 100 operator diving, 100 marina, 100 KEK, dan amenitas pariwisata lainnya.
Kemudian pembiayaan yang kita perlukan di 10 destinasi pariwisata prioritas (DPP) atau 10 Bali Baru. Juga isu bunga pinjaman yang masih di atas 10% sehingga memberatkan para pelaku usaha industri pariwisata. Dan yang tak kalah penting adalah adanya peluang untuk memberikan pembiayaan UMKM pariwisata di 10 destinasi pariwisata prioritas.
Investasi dan pembiayaan adalah key success factor yang sangat krusial karena ia merupakan faktor pengungkit pertumbuhan sektor pariwisata.
Sumber Pembiayaan
Berbicara mengenai investasi dan pembiayaan di sektor pariwisata ada banyak sumber-sumber pembiayaan yang bisa digali. Yang umum tentu saja pembiayaan yang bersumber dari Usaha Jasa Keuangan/Industri Keuangan Bank (IKB) seperti Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Pariwisata (FLPP) atau Kredit Usaha Rakyat (KUR) pariwisata.
Ada juga pembiayaan yang bersumber dari Industri Keuangan Non Bank (IKNB) seperti dari perusahaan asuransi untuk mendukung keselamatan wisatawan selama berlibur, dari lembaga pembiayaan (multifinance), atau dari dana pensiun. Bisa juga pembiayaan yang bersumber dari pasar modal dengan menggunakan instrumen reksadana (misalnya Reksadana Terpadu Pariwisata) atau obligasi.
Di samping itu sumber pembiayaan dan penjaminan juga bisa berasal dari lembaga keuangan negara (seperti: Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, PT Sarana Multi Infrastruktur, PT Sarana Multigriya Finansial, PT Penjaminan Infrastruktur Indonesia), skema pembiayaan yang dikeluarkan oleh BAPPENAS, atau melalui BUMN-BUMN dalam kerangka kegiatan corporate social responsibility (CSR) atau PKBL (Program Kemitraan dan Bina Lingkungan).
Ambil contoh pembiayaan untuk pengembangan homestay desa wisata, rupanya sumber dan skema pembiayaannya bisa beraneka-ragam dan melibatkan berbagai pihak terkait. Seperti terlihat pada tabel, pembiayaan homestay bisa melibatkan kementerian, industri perbankan, BUMN, dan kalangan swasta. Skemanya pun bisa bermacam-macam mulai dari kredit bersubsidi, hibah, hingga bagi hasil.
Sumber dan skema pembiayaan ini tentu saja masih banyak lagi macam dan ragamnya, saya kurang begitu memahaminya, karena itu kita serahkan kepada ahlinya yaitu OJK. Kini kita sedang intensif berdiskusi dan berkonsultasi dengan OJK, kita gunakan saja skema dan struktur pembiayaan yang kini telah ada di OJK.
Dalam waktu dekat ini saya akan bertemu dengan Pak Wimboh Santoso, Ketua OJK, untuk mengusulkan kebutuhan pembiayaan di sektor pariwisata dan akan mendiskusikan skema dan instrumen pembiayaan apa saja yang akan digunakan. Alhamdulillah, kita sudah merinci kebutuhan pembiayaan tersebut khususnya kebutuhan pembiayaan di 10 destinasi pariwisata prioritas.
#PesonaIndonesia #WonderfulIndonesia #GenPi #GenWi #Indonesia
Kebutuhan Pembiayaan Sektor Pariwisata 2019-2024 Berdasarkan Sumber Pembiayaan
Negara Hadir
Dengan gambaran sumber-sumber pembiayaan di atas, intinya saya ingin mengatakan bahwa sumber-sumber pembiayaan itu begitu luas, namun kita tidak tahu. Di sinilah negara harus hadir untuk memfasilitasi para pelaku industri pariwisata agar mudah mendapatkan akses pembiayaan. Dan saya katakan, Kemenpar akan menjadi berguna untuk orang banyak jika kita bisa memfasilitasi itu.
Contohnya KUR Pariwisata itu selama ini tidak populer. Begitu mendengar KUR maka yang ada di benak kita selalu sektor pertanian atau peternakan. Data OJK menunjukkan penyaluran KUR ke sektor industri pariwisata masih sangat kecil sekitar 3%, jauh lebih kecil dibandingkan pertanian/kehutanan (24%) dan perdagangan (58%). Karena itu saya minta agar KUR Pariwisata dikembangkan agar dikenal luas di kalangan pelaku industri pariwisata.
Contoh lain, RDPT (Reksa Dana Penyertaan Terbatas) yaitu penggalangan dana dengan menggunakan instrumen reksadana untuk membangun properti di sektor pariwisata selama ini juga tidak dikenal. Ketika sektor pariwisata kini menjadi primadona dan tumbuh begitu pesat industrinya, seharusnya RDPT bisa menjadi instrumen investasi yang menarik dengan return yang menjanjikan.
Begitu juga, pembiayaan perumahan bersubsidi homestay desa wisata harusnya bisa dikembangkan secara luas. Logikanya, kalau ada orang yang membangun homestay harusnya diberikan fasilitas KPR bersubsidi. Kenapa? Karena usaha homestay jelas-jelas usaha produktif dan dinikmati oleh rakyat Indonesia. Aneh kalau ada usaha produktif dan manfaatnya betul-betul dirasakan oleh masyarakat desa tidak diberikan subsidi.
Menurut saya, setiap pelaku bisnis khususnya usaha kecil-menengah harus ada bapaknya. Kalau Horeka (hotel-resto-kafe) bapaknya namanya Kemenpar. Kalau warung nasi, bapaknya ada horisontal dan vertikal. Bapak horisontalnya Kementerian Koperasi dan UKM. Bapak vertikal Kementerian Pariwisata. Jadi jangan sampai mereka tidak dibina. Nah, pembinaan itu termasuk dalam hal investasi dan pembiayaan.
Bapak Angkat
Dalam berbagai kesempatan Pak Presiden selalu meminta saya untuk membuat toko oleh-oleh suvenir semacam UKM center. Kita sudah membuatnya di Mandalika, Lombok, yang dikerjakan oleh ITDC, sebanyak 309 kios. Nah, di situ ada unsur pembiayaannya. Bagaimana pembiayaannya?
Kira-kira begini, ke-309 kios tersebut dikoordinasi oleh ITDC. Jadi ITDC berfungsi sebagai bapak angkat bagi UKM-UKM yang mengusahakan kios tersebut. Untuk mendapatkan pembiayaan dari bank, maka yang maju ke bank adalah ITDC karena kalau kios-kios itu maju sendiri-sendiri ke bank pasti akan sangat rumit.
Apa sih kelemahan kebanyakan UKM kita? Kelemahan mendasarnya adalah akses pada lembaga keuangan, karena mereka cenderung informal dan tak cukup punya kolateral. Kalau terus dibiarkan sendiri, mereka tidak akan bisa maju. Maka harus ada yang menjadi bapak angkat. Sama seperti inti dan plasma.
Kalau kita mendidik UKM-UKM itu harus ahli, maka perlu waktu yang sangat lama, sementara kehidupan harus berjalan terus. Nah, ahlinya biar intinya, plasma mengikuti intinya. Saya inginnya begitu, sambil menjalankan instruksi Pak Presiden, untuk mengembangkan kios-kios itu harus ada semacam pembinanya atau bisa disebut penjamin. Sementara itu kita tetap melakukan pendidikan dan pembinaan kepada para UKM tersebut untuk jangka panjang.
Di samping itu, di internal kios-kios itu harus disediakan aplikasi-aplikasi sederhana seperti aplikasi ERP (Enterprise Resource Planning) sederhana, CRM (Customer Relationship Management) sederhana, point of sales (POS), agar inventori ter-update, cash flow ter-update. Saya membayangkan ITDC yang menyediakan. Satu sistem untuk 300-an kios. Dengan manajemen yang modern dan profesional, maka kios-kios tersebut akan mudah berhubungan dengan bank dan memiliki bargaining position yang tinggi dalam berhadapan dengan bank.
Saya juga menginginkan ITDC memainkan konsep Planet, People, Prosperity (3P) atau Environment, Community, Economy (ECE) dengan cantik. Bangunlah dulu People-nya. Contohnya di Mandalika, satu hotel pun belum jadi, tapi masjidnya sudah jadi duluan. UKM center-nya sudah jadi duluan. Begitu juga dengan di Danau Toba, saya minta dibangun dulu Desa Sigapiton. Di Borobudur saya minta dibikin UKM Center, saya minta satu kavling untuk UKM. DI Tanjung Kelayang kita ada 5000 m2 untuk membangun homestay.
Ini strategi baru. Dari konsep 3P itu utamakan dulu People dan Community-nya dulu sebelum membangun yang lain. Saya katakan, kalau kita tulus ke Community, maka kita akan mendapat dua imbalan: pertama, pahala dari Tuhan. Kedua, nanti social cost-nya akan rendah, nggak akan ada demo.
Operational vs Non-Operational Return
Hal terakhir yang menarik terkait dengan investasi dan pembiayaan adalah adanya operational return dan non-operational return dalam investasi di sektor pariwisata. Dalam dunia investasi return itu ada dua: investment yield itu adalah operational return; dan capital gain adalah non-operational return.
Contohnya kita beli rumah Rp 100 juta kita sewakan Rp 5 juta per tahun, maka operational return-nya 5%. Tapi return-nya tidak cuma dari situ, tapi juga dari naiknya harga tanah. Misalnya harga tanah naik 10%, jadi total return-nya 15%. Return dari kenaikan harga itulah yang disebut non-operational return.
Di industri pariwisata, saya menduga operational return-nya kecil, saya memperkirakan net profit margin sekitar 10%. Net profit margin 10% rendah nggak, tinggi juga nggak, nanggung. Maka ada anekdot: “Kalau mau kaya jangan usaha di hotel. Tapi kalau sudah kaya kita harus punya hotel.” Artinya bisnis ini kurang menarik, kalau hanya dilihat dari operational return-nya.
Tapi saya sering membuat analogi, pembangunan MRT di Hong Kong itu tak akan pernah mendapatkan return yang memadai kalau tidak digabungkan dengan investasi properti. Sehingga tiap kali MRT lewat di lokasi-lokasi tertentu dia bisa membangun properti, seperti mal atau restoran. Sehingga return-nya ada dua: operational return dari jasa transportasi dan non-operational return dari properti. Nah, konon pendapatan dari properti justru lebih besar.
Demikian juga jika kita berinvestasi di jalan tol. Kalau return-nya hanya dari operasional jalan tol, kemungkinan return-nya kecil. Namun jika digabungkan dengan pendapatan dari bisnis properti return-nya akan tinggi. Bagi CEO pengelola jalan tol yang pintar, maka dia akan membeli tanah di pintu-pintu tol. Saat membeli tanah harganya masih Rp 100 ribu, tapi ketika dijual harganya naik Rp 1 juta. Pendapatan terbesar pengelola jalan tol justru dari capital gain dari menjual tanah tersebut.
Analogi ini saya terapkan di pariwisata. Kalau kita mau membangun hotel butuh lahan sekitar 1 Ha, maka kita harus membeli tanah 10 Ha. Dari tanah seluas itu, 1 Ha digunakan untuk membangun hotel dan sisanya 9 Ha untuk investasi tanah. Ketika hotelnya sudah berdiri dan ramai, maka tanah di sekitar hotel tersebut akan naik harganya. Maka return dari pemilik hotel ada dua. Pertama adalah return dari operasional hotel. Kedua return dari naiknya harga tanah.
Nah, dengan logika yang sama, saya heran, sudah jelas-jelas pemerintah committed membangun 10 Bali baru, tapi masih belum banyak investor yang tertarik. Padahal sudah pasti infrastrukturnya akan dibangun oleh pemerintah sehingga harga tanah akan naik pesat. Di Danau Toba misalnya, bandara internasional dibangun, jalan tol dibangun, kereta api dibangun. Saya memprediksi, kalau kita punya tanah, sebelum dan setelah KEK kenaikan harga tanahnya bisa mencapai lima kali lipat.
Poin saya, kenapa investor tidak dari sekarang membeli tanah atau membangun properti di sekitar destinasi prioritas tersebut (di KEK atau Badan Otorita Pariwisata) ketika mereka tahu bahwa capital gain-nya bakal tinggi. Dugaan saya karena mereka tidak berpikir untuk menggabungkan operational return dan non-operational return.
Kalau kita bisa menjelaskan hal ini dengan baik, yaitu menggabungkan operational dan non-operational return, maka saya yakin minat investor di sektor pariwisata akan sangat besar.* (p/ma)