Jakarta Bakal Tiru Paris dan Bangkok dalam Penanganan Polusi Udara
By Admin
nusakini.com, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta akan meniru kota-kota besar dunia seperti Paris dan Bangkok dalam menangani polusi udara.
Upaya ini mencakup peningkatan jumlah sensor pemantauan kualitas udara serta keterbukaan data sebagai dasar kebijakan berbasis sains.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang digelar Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta mengundang BMKG, BRIN, akademisi, serta organisasi masyarakat sipil (Civil Society Organization) untuk membahas strategi menghadapi penurunan kualitas udara saat musim kemarau.
Kepala Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta, Asep Kuswanto mengatakan, Jakarta perlu memiliki sistem pemantauan udara yang lebih canggih seperti kota-kota besar dunia.
Ia menyampaikan, belajar dari kota lain, Bangkok memiliki 1.000 stasiun pemantauan kualitas udara (SPKU), Paris memiliki 400 SPKU.
“Jakarta saat ini sudah memiliki 111 SPKU dari sebelumnya hanya lima unit. Ke depan kita akan menambah jumlah sensor agar bisa melakukan intervensi yang lebih cepat dan akurat,” ujarnya, Rabu (19/3).
Asep menjelaskan, keterbukaan data menjadi langkah penting dalam memperbaiki kualitas udara secara sistematis. Menurutnya, dibutuhkan langkah-langkah berkelanjutan dan luar biasa dalam menangani pencemaran udara, bukan hanya intervensi sesaat.
“Kita harus lebih terbuka dalam menyampaikan data polusi udara agar intervensinya bisa lebih efektif,” kata Asep.
Ia mengatakan, Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta menargetkan penambahan 1.000 sensor kualitas udara berbiaya rendah (low-cost sensors) agar pemantauan lebih luas dan akurat.
“Dengan upaya ini, sumber pencemaran dapat terdeteksi lebih jelas, termasuk bagaimana polutan dari luar masuk ke wilayah Jakarta ,” ucapnya.
Sementara itu, Kepala Subbidang Informasi Pencemaran Udara BMKG, Taryono Hadi menyampaikan, fenomena El Nino tidak terjadi secara global tahun ini. Akibatnya, musim kemarau di Indonesia yang biasanya dimulai pada awal April diperkirakan akan mundur hingga akhir bulan. Ia menilai, puncak musim kemarau yang seharusnya terjadi lebih awal kini diprediksi mencapai intensitas tertinggi pada September.
"Kami melihat adanya pergeseran pola musim kemarau tahun ini. Jika biasanya berlangsung lebih cepat, kini musim kemarau diperkirakan mulai lebih lambat dan puncaknya bergeser ke bulan September," ungkap Taryono.
Ia juga menyoroti bahwa curah hujan memiliki peran penting dalam mengurangi polusi udara. Pada bulan-bulan kering seperti Juni hingga Agustus, kualitas udara di Jakarta cenderung memburuk karena meningkatnya polutan di atmosfer.
Saat curah hujan rendah, partikel polusi sulit terurai, sehingga konsentrasi polutan seperti PM2.5 meningkat tajam," katanya.
Sementara itu, Guru Besar Teknik Lingkungan Institut Teknologi Bandung (ITB), Puji Lestari mengungkapkan, polusi udara di Jakarta sebagian besar berasal dari aktivitas industri yang tersebar di wilayah Jabodetabek.
Ia menjelaskan, sektor industri, termasuk pembangkit listrik dan emisi karbon monoksida (CO), masih menjadi kontributor utama pencemaran udara, diikuti oleh emisi dari kendaraan penumpang.
“Selain faktor internal, kondisi udara di Jakarta juga dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya yang turut berkontribusi terhadap penurunan kualitas udara,” ucapnya.
Puji menambahkan, interaksi antara berbagai sumber pencemaran ini menyebabkan tingkat polusi di Jakarta semakin kompleks.
“Oleh karena itu, diperlukan koordinasi lintas wilayah serta pendekatan berbasis data yang lebih terbuka untuk mencapai perbaikan yang signifikan dalam kualitas udara Jakarta,” tandasnya. (*)