KAI Imbau Taati Rambu-Rambu Lalulintas di Pelintasan Sebidang

By Admin


nusakini.com - Surabaya - Apabila terjadi kecelakaan lalu lintas di pelintasan sebidang, itu menjadi peristiwa yang sudah  klasik seolah-olah itu adalah menjadi tanggung jawab PT KAI. Pandangan ini tidak benar dan diharapkan semua pihak atau stake holder terkait agar  memahami peraturan atau perundang-undangan yang berlaku. Lakalantas di perlintasan sebidang sejatinya bukan menjadi tanggung jawab KAI.

KAI sangat prihatin dan turut bela sungkawa  atas musibah yang menimpa mobil Pajero Sport bernomor polisi W 1165 YV dan KA Sri Tanjung di pelintasaan kereta api sebidang Jalan Pagesangan, Surabaya, Minggu (21/10/2018). Semoga peristiwa ini tidak terulang lagi.

Data menunjukkan, dari tahun ke tahun, terdapat tren jumlah kecelakaan lalu lintas di pelintasan sebidang. Pada 2015 terjadi 169 kecelakaan, 2016 tercatat 295 kecelakaan, dan tahun 2017 tercatat 448 kecelakaan. Sedangkan untuk tahun 2018 sampai 21 Oktober telah terjadi 313 kecelakaan.

Dari catatan PT KAI di tahun 2017, jumlah pelintasan sebidang di Jawa sebanyak 3.907. Dari jumlah itu, 1.015 di antaranya merupakan pelintasan resmi dan 2.892 sisanya adalah pelintasan tidak resmi. Sedangkan di Pulau Sumatera, total terdapat 914 pelintasan sebidang yang terbagi atas 177 pelintasan resmi dan 737 pelintasan tidak resmi. Kondisi itu 100 % adalah  jalan raya atau jalan desa memotong jalur rel ka eksisting.

Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan sesuai UU Perkeretaapian idealnya dibuat tidak sebidang. Pelintasan sebidang memungkinkan ada,  jika hanya area tersebut merupakan jalur dengan frekuensi perjalanan KA rendah dan arus lalu lintas jalan rayanya pun tidak padat. Sesuai dengan UU no. 23 th 2007 ttg perkeretaapian pasal 91 yang berbunyi :

* Perpotongan antara jalur kereta api dan jalan dibuat tidak sebidang.

* Pengecualian terhadap ketentuan sebagaimana pada ayat (1) hanya dapat dilakukan dengan  tetap menjamin keselamatan dan kelancaran perjalanan  kereta api dan lalu  lintas jalan.

Namun, jika pelintasan sebidang tersebut merupakan jalur dengan frekuensi perjalanan KA yang tinggi dan padat lalu lintas jalan raya, maka sudah seharusnya dibuat tidak sebidang, bisa flyover maupun underpass. Pembangunan prasarana perkeretaapian merupakan wewenang dari penyelenggara prasarana perkeretaapian dalam hal ini pemerintah.

PP 56 tahun 2009 (yang kemudian diubah dengan PP 6 Tahun 2017 ) pun menyebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab atas pelintasan sebidang. Pasal 79 menyebutkan bahwa Menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai kewenangannya melakukan evaluasi secara berkala terhadap perpotongan sebidang. Jikalau berdasarkan hasil evaluasi ada perpotongan yang seyogianya harus ditutup, maka pemerintah sebagaimana disebut di atas dapat menutupnya atau membangun pelintasan tidak sebidang.

Selain itu, KAI dengan tegas mengimbau kepada seluruh pengguna jalan raya untuk mematuhi rambu-rambu lalu lintas saat akan melewati pelintasan sebidang. Pengguna jalan raya harus tetap waspada dan mawas diri, apalagi pada akhir pekan, saat frekuensi KA melintas di pelintasan sebidang lebih tinggi karena biasanya ada perjalanan KA tambahan.

Ada atau tidak ada penjaga maupun fasilitas pelintasan sebidang, saat akan melewati area tersebut, masyarakat haruslah memperhatikan seluruh rambu lalu lintas dan tanda-tanda keselamatan yang ada. KAI sebagai operator dan penyelenggara sarana perkeretaapian bertanggung jawab mengantarkan para penumpang KA dengan selamat hingga stasiun tujuan sesuai aturan yang berlaku. (p/ma)

Untuk mewujudkan keselamatan di pelintasan sebidang, PT KAI pun gencar melakukan sosialisasi keselamatan perjalanan kereta api, salah satunya keselamatan di pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan raya. Hal ini salah satunya karena masih kurangnya kesadaran dan pemahaman pengguna jalan raya terhadap peraturan keselamatan perjalanan KA di pelintasan sebidang.

Guna menekan kasus kecelakaan di pelintasan KA sebidang, pemerintah juga telah menerbitkan peraturan-peraturan untuk pengguna jalan. Salah satunya Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas Angkutan Jalan (LLAJ) Pasal 114 menyatakan bahwa: Pada pelintasan sebidang antara jalur KA dan jalan, pengemudi kendaraan wajib berhenti ketika sinyal sudah berbunyi dan palang pintu KA sudah mulai ditutup, serta wajib mendahulukan kereta api.

Aturan di atas senada dengan UU No 23 Tahun 2007 tentang Perkeretaapian Pasal 90 poin d) menyatakan bahwa: Penyelenggara Prasarana Perkeretaapian berhak dan berwenang mendahulukan perjalanan kereta api di perpotongan sebidang dengan jalan. Pasal 124 menyatakan bahwa: Pada perpotongan sebidang antara jalur kereta api dan jalan, pemakai jalan wajib mendahulukan perjalanan kereta api.

Aturan melewati pelintasan KA terdapat dalam UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan Pasal 114 dan sanksinya termaktub dalam Pasal 296 dengan bunyi sebagai berikut:

Pasal 296: Setiap orang yang mengemudikan kendaraan bermotor pada pelintasan antara kereta api dan jalan yang tidak berhenti ketika sinyal sudah berbunyi, palang pintu kereta api sudah mulai ditutup, dan/atau ada isyarat lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 114 huruf a dipidana dengan pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan atau denda paling banyak Rp750.000,00 (tujuh ratus lima puluh ribu rupiah).

Perjalanan kereta api memang kompleks dan melibatkan berbagai pihak yang berkepentingan. Diperlukan pemahaman akan berbagai aturan yang mengacu pada keselamatan perjalanan KA khususnya di pelintasan sebidang. Keselamatan perjalanan kereta api maupun keselamatan lalu lintas jalan umum merupakan tanggung jawab bersama. Tidak memberatkan hanya ke satu pihak saja. Dengan adanya pemahaman dan kesadaran oleh seluruh pihak akan tanggung jawab yang diembannya, maka keselamatan yang diharapkan niscaya dapat diwujudkan. (p/ma)