M. Nigara

Wartawan Sepakbola Senior

 

YANITA UTAMA, klub penuh bintang asal Bogor, seperti menjadi 'musuh' bersama bagi seluruh peserta kompetisi Galatama (Liga Sepakbola Utama) PSSI. Ya, apalagi jika bukan karena kesejahteraan mereka melebihi klub-klub yang ada.

Bahkan Arseto, klub milik putra sulung Presiden Soeharto, Sigit Harjojudanto dan Mercu Buana, klub milik adik Pak Harto, Probo Sutedjo, kalah makmurnya.Tak heran, ketika klub Jaka Utama Lampung yang dipindahtangankan dari pengusaha Lampung, Ir. Marzuli Warganegara ke pengusaha asal Jakarta, Pitoyo Haryanto, para bintang nasional langsung berderet di sana.

Joko Malis, Bambang Nurdiansyah, Mundari Karya, Rully Neere, Bambang Soenarto,  Rudy Williem Kelces, Elly Idris, Herry Kiswanto, dan pemain-pemain hebat lainnya, ada di Yanita. Pitoyo juga yang mengawali bonus per-gol. Jadi, bonus kemenangan ditambah bonus gol, jumlahnya sangat menakjubkan. Dari yang satu tahu, jumlahnya melebihi gaji bulanan. Kalau boleh saya analogikan dengan uang sekarang, setiap menang ditambah dengan bonus gol, angkanya bisa Rp 20-30 juta.

Akibatnya, kecemburuan, terang-terangan atau sembunyi-sembunyi, ada dan muncul di antara para pemain.

Tak heran, setiap laga Yanita Utama, wasit dan hakim garis juga ikutan sibuk.

Sibuk? Oya, dulu, klub tuan rumah diberi beban untuk menanggung seluruh keperluan wasit. Tiket pesawat, hotel, makan, uang saku, uang tugas, dan lain-lain, dibebankan ke mereka. Nah, tak heran jika wasit serta hakim garis ikutan sibuk. Uangnya, gede banget, begitu  pengakuan banyak wasit saat itu.

"Apalagi kalau Yanita menang, kita bisa beli sapi deh!"

Vs Makassar Utama

Hari itu, tahun 1984. Makassar Utama, klub mililk pengusaha asal Ujung Pandang, Jusuf Kalla, bertandang ke Bogor. Klub yang juga disponsori Astra Internasional itu dihuni oleh sederet nama beken asal Sulawesi Selatan.

MU, begitu sapaan akrab yang mayoritasnya pemainnya berasal dari PSM Makassar itu, termasuk klub yang sangat ditakuti. 

"Mainnya keras banget," keluh banyak pemain klub lain. "Apa lagi kalau main di Stadion Mattoangin, penontonnya ikut main, ngeriiii.., " kata pemain lain.

Ya, begitulah MU dan para pemainnya, merk nya sudah jelas: keras, kata halus untuk istilah kasar. Hafid Ali, pemain belakang yang paling ditakuti. Istilah bola boleh lewat, lawan jangan, itu yang paling menonjol.

Begitu juga saat mereka tampil di Stadion Pajajaran, Bogor. Sejak awal, pemain Yanita Utama seperti lompat-lompat saja. Bambang cs memilih menghindari benturan ketimbang cedera. Ini bisa dimaklumi karena Banur, Herkis, Rully, Ely, Joko, Mundari adalah pemain-pemain andalan timnas.

Satu kesempatan terjadi kericuhan, Hafid diberi kartu merah oleh wasit Ika Mariska. Kartu merah yang belum sempat diturunkan, dijambret pemain MU. 

Dorong-dorongan terjadi, tiba-tiba: "Buk!" Ika nyaris terjengkang.

Sebuah pukulan keras membuat wajah wasit itu lebam. Ika mencari siapa yang mendaratkan bogem ke wajahnya.

Intinya siapa yang melepaskan bogem tidak tertangkap. 

Tapi, diam-diam saya mencurigai seorang pemain. Untuk menuduh, saya tak punya bukti. Kamera saya hanya menangkap Hafid dalam banyak adegan, berkali-kali.

Sekali lagi, saya curiga dengan pemain yang sudah diganti itu. Siapa dia? 

Ya, dialah Syamsuddin Umar. Sesungguhnya pemain yang satu ini bukan tergolong pemain berciri keras. Di MU hanya Syamsu dan Ruslan Kasim yang tergolong pemain bersih. Tapi, ketika situasi memaksa, bogem bisa melayang juga.

"Terpaksa," katanya sambil cengengesan beberapa hari setelah kasus itu.

Ya, terpaksa atau tidak, wajah Ika sudah lebam. Terpaksa atau tidak, Syamsu sudah cengengesan. Terpaksa atau tidak, itulah wajah sepakbola kita tempo itu. Terpaksa atau tidak Syamduddin Umar sekarang bukan lagi pemain yang seperti itu. 

Dan, jika boleh mengulang jarum jam, Syamsuddin Umar pasti tidak akan melakukan hal itu...

Menyesal

Syamsuddin Umar membalas WA saya: "He..he..Pak Nigara wartawan olahraga yang saya sangat kagumi dengan tulisan, komentar dan analisanya yang sangat tajam dan jelas...," tulisnya.

Pak Nigara, masih tulis Syamsyddin Umar: "Dengan kamera serta motor Vespa yang sangat khas, saya sangat ingat betul....," 

Memang pada kejadian saat itu. "Kalau saya ingat, saya jadi termenung sendiri. Saya sangat menyesal degan kelakuan yang sesungguhnya tidak perlu terjadi...," lanjut Syamsu.

 Katanya lagi; "Sampai saat ini, saya masih ingin meminta maaf kepada wasit Bapak Ika Mariska. Dan semoga beliau masih mau memaafkan atas kejadian tersebut...," sampai bagian ini, Syamsu jelas tercermin bukan pemain yang nakal.

Penyesalan Syamsuddin tampaknya masih panjang. "Terimakasih Pak Nigara yang berbaik hati, mengingatkan kisah lama yang masih tetap membekas di hati saya. Berdosa, semoga Pak Ika Mariska selalu dalam keadaan sehat dan saya ingin meminta maaf... sehat dan bahagia selalu Pak Nigara, salam hormat buat keluarga, Alfatiha, Aamiin YRA," pungkasnya.