Melepas Stigma Buruk Koperasi

By Admin


Besarnya manfaat badan usaha koperasi bagi pengembangan ekonomi masyarakat tak lantas membuat koperasi menjadi pilihan rasional publik dalam menjalankan usahanya. Mengapa hal itu terjadi?”

DALAM sejarah panjang koperasi di Indonesia, badan usaha yang lahir dari rahim perjuangan rakyat untuk membebaskan diri dari himpitan kemiskinan serta jeratan tengkulak (rentenir) ini terus mengalami pasang surut. Semangat gotong royong yang menapasi lahirnya koperasi harus dikembalikan lagi. Dukungan pemerintah sangat diperlukan di sana serta peningkatan sumberdaya manusia (SDM) pelaku koperasi mengahadapi era baru digitalisasi lembaga keuangan menjadi poin penting meng-upgrade kualitas lembaga koperasi di tanah air.

Di luar minimnya kapasitas permodalan yang dihimpun untuk menopang jalannya usaha, sejumlah stigma buruk akibat penyelewengan oleh sejumlah lembaga yang mengatasnamakan koperasi juga menjadi sebab lembaga berbasis asas gotong royong ini belum menjadi pilihan rasional masyarakat.

Deputi Bidang Pengawasan Kementerian Koperasi dan UKM Achmad Zabadi pernah mengatakatan, berdasar catatannya, kasus-kasus koperasi bermasalah yang muncul dalam lima tahun terakhir sejatinya adalah kasus yang sama, yakni penghimpunan dana nasabah dengan menjanjikan tingkat return yang terlalu tinggi. 

Menurutnya tidak fair jika akhirnya badan usaha koperasi secara keseluruhan harus menerima stigma yang buruk. Belum lagi baru-baru ini telah dilansir data sejumlah koperasi yang disebutkan telah melakukan praktik ilegal, namun setelah diverifikasi oleh Kemenkop UKM tak semua daftar yang dilansir tersebut benar-benar telah melakukan kegiatan ilegal.

Diketahui pada 22 Mei 2020 lalu, Satgas Investasi OJK merilis adanya 50 koperasi telah melakukan praktik ilegal. Namun belakangan setelah kementeriannya melakukan klarifikasi dan konfirmasi pada koperasi yang bersangkutan, serta menggelar pertemuan dengan pihak Satgas Investasi OJK, ternyata informasi itu tidak sepenuhnya benar.

“Dari informasi soal 50 koperasi itu ternyata kurang dari lima hari, bahkan ada yang kurang dari 24 jam, informasinya dianulir, dan dinormalisasi karena tidak terbukti apa yang diduga. Sebanyak 36 koperasi dinyatakan dinormalisasi. Bahkan Satgas menyatakan permohonan maaf secara terbuka,” kata Zabadi. 

Dalam kesempatan tersebut ia juga mengungkapkan dalam informasi yang dilansir oleh OJK tadi, ternyata diketahui terdapat 11 badan usaha yang bukan koperasi namun menggunakan nama koperasi.

Terkait lembaga yang mengatasnamakan koperasi, dan saat ini tengah bermasalah seperti Koperasi Hanson Mitra Mandiri dan KSP Indosurya, perlu dipertanyakan legalitas dua badan usaha tersebut. 

Seperti sempat disampaikan Staf Khusus Menteri Bidang Hukum, Pengawasan Koperasi dan Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM, Agus Santoso beberapa waktu lalu, pada kedua lembaga tersebut ternyata ditemukan berbagai masalah dalam kegiatan operasional maupun pengelolaan dana koperasi.

Disampaikan Agus Santoso, dua koperasi tersebut beroperasi selayaknya perbankan dengan menjanjikan return sangat tinggi. 

“Berdasarkan hasil pemeriksaan kami, Hanson dan Indosurya diduga melanggar tindak pidana perbankan. Fenomena koperasi seperti bank ini telah menyusahkan para anggota untuk menarik dana,” kata Agus. 

Hal yang juga janggal, para korban penyalahgunaan dana tadi ternyata tidak memiliki kartu anggota koperasi serta tidak pernah mengikut Rapat Anggota Tahunan (RAT). Termasuk hal yang janggal pula, adalah pengurus yang ternyata bukan berasal dari koperasi, melainkan dari grup usaha. Hal ini tentunya menyalahi prinsip koperasi yang mengutamakan mufakat dari dan untuk anggota. Muncul dugaan kedua koperasi tersebut mengumpulkan dana masyarakat dan kemudian dialirkan ke induk usaha.

Terkait stigma yang muncul akibat lembaga yang mengatasnamakan koperasi, dikatakan Zabadi perlu dilakukan verifikasi sebelum melansir data soal penyelewengan oleh badan usaha koperasi. Karena jika informasi itu ternyata tidak benar namun sudah menyebar secara viral ke publik, maka lembaga atau badan usaha koperasi akan mendapatkan stigma buruk.

Stigma ini tentu akan menjauhkan publik dari badan usaha berasas gotong royong tersebut, sementara pemerintah saat ini tengah berupaya agar badan usaha koperasi bisa kembali menjadi pilihan masyarakat dalam mengembangkan perekonomian mereka.

Di tengah situasi pandemi seperti sekarang, stigma ini akan berujung pada sulitnya akses pendanaan pada UMKM unbanked, yang selama ini bergantung pada koperasi. Jika ratusan ribu koperasi yang menjadi channeling pendanaan UMKM tadi harus dibekukan atau ditinggalkan pesertanya akibat stigma tadi, tentu akan mengganggu kelangsungan usaha UMKM yang bergantung pada koperasi, demikian dikatakan Zabadi dalam kesempatan diskusi secara webinar, dengan tema “Masihkah Koperasi Menjadi Andalan” yang digelar ICCI beberapa waktu lalu. 

Dampak dari publikasi yang tidak tepat itu, lanjut Zabadi, bisa saja membuat anggota yang menabung di koperasi merasa tidak aman dan mendorong mereka melakukan penarikan dana besar-besaran atau “rush” pada koperasi. Aksi rush atau pengambilan kembali dana simpanan tentunya bisa berujung pada gagal bayar koperasi. 

Sejatinya, kata Zabadi, di koperasi tak dikenal istilah kondisi gagal bayar, karena pemiliknya adalah para anggota itu sendiri.

“UMKM kita yang terakses dengan perbankan itu baru 13 juta. Ada sekitar 87% lainnya yang belum terhubung dengan perbankan. Kebutuhan pembiayaan mereka dipenuhi oleh non bank, sebagian besar lewat koperasi. Bisa dibayangkan akibat rilis yang tak benar. Dampak ikutan berupa turunnya kepercayaan ini merugikan perekonomian naisonal. Karena yang saat ini terlayani koperasi jadi terganggu,” kata Zabadi.

Untuk mencegah terulangnya kejadian yang sama, saat ini Kementerian Koperasi dan UKM telah menjalin koordinasi dengan Otoritas Jasa Keuangan, Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK), serta Bareskrim Mabes Polri untuk melakukan pengawasan dan penindakan terhadap penyelewengan yang dilakukan oleh para pengurus koperasi, atau lembaga-lembaga yang mengatasnamakan koperasi.

Hal yang paling penting untuk dilakukan dalam merubah stigma buruk koperasi adalah adanya sinergi antara pemerintah dan pelaku usaha koperasi untuk bersama-sama mengedukasi masyarakat dan melakukan literasi koperasi untuk bangkitnya kepercayaan masyarakat terhadap koperasi dan secara langsung mengajarkan kepada masyarakat untuk bisa memilah mana koperasi yang patut dipercaya dan mana yang abal-abal. (disarikan dari berbagai sumber)