Mengapa Hasan Nasbi Kritik Purbaya?
By Admin

Oleh : Gus Afthon Lubbi (Praktisi Komunikasi Politik)
nusakini.com, Kritik itu perlu di alam demokrasi. Saya juga khawatir jika publik terlalu mengidolakan Purbaya. Karena hasil kerjanya belum terasa-terasa amat dalam pertumbuhan ekonomi. Menempatkan sesuatu pada tempatnya ini yang masih sulit bagi kita.
Kelemahan kita sebagai bangsa hari-hari ini adalah tidak siap berbeda dalam segala hal, karena kegagalan konsep pendidikan. Beda agama, beda aliran dalam agama, beda partai, beda ormas, hingga beda pendapat, sering menjadi sumber konflik dan perpecahan. Sejak kita sekolah, hingga anak-anak hari ini sekolah, edukasi untuk siap berbeda itu bukan hanya minim, tapi nihil. Outputnya bisa kita lihat hari ini, hal-hal kecil sering jadi sumber keributan.
Kelemahan lainnya adalah budaya kritik. Sebagai sebuah bangsa Timur, mengkritik itu kita maknai sebagai serangan. Mengkritik adalah menyerang. Bahkan, aktivitas mengkritik di budaya kita hari ini ya memang benar-benar menyerang. Beda cerita di negara dimana budaya kritik sudah ditradisikan sejak dini. Menyampaikan pendapat dengan kritik itu budaya sehari-hari, menjadi bahasa pergaulan. Di kita, mengkritik teman, tetangga, itu bermakna lain. Di dunia akademik mungkin lebih selamat, ada istilah "catatan kritis" yang masih dihidupkan.
Contoh paling dekat adalah kritik yang dibuat oleh salah satu program Trans7 terhadap dunia pesantren. Di satu sisi, rumah produksi yang bekerjasama dengan trans7 tidak mampu membuat kritik yang proporsional. Di sisi lain, dunia pesantren juga tidak mampu atau tidak terbiasa dengan kritik.
Dua sisi mempunyai kelemahan. Satu belum bisa membuat kritik, satu lainnya belum bisa menerima kritik. Boom! Menjadi heboh. Saat peristiwa demo di studio trans7 itu saya japri salah satu oratornya yang naik mobil komando. "Pak Kiai, sudah saatnya bikin pelatihan mitigasi informasi dan public relations di pesantren". Dijawab, "Siap!".
Saya tengok, orang-orang yang heboh dengan Purbaya juga demikian. Banyak memakai referensi asal-asalan. Ada Lintas Berita, Pelintas Jalan, sampai akun sosmed "Suara Hati Istri". Ada loh! Like dan komentarnya rame banget. Justru itu yang bikin seru, suara hati istri, jeritan malam, dll. Media-media seperti itu memang mengandalkan klickbait biar rame, foto tokoh sedang marah, tertawa, atau bahkan vulgar, termasuk foto rekayasa dildo milik istri Sahroni yang viral itu. Kebanyakan mereka terinspirasi oleh Lambe Turah yang "sukses" duluan.
Media baru seperti itu sering disebut sebagai homeless media. Ada yang murni kreativitas orang iseng karena sempitnya lapangan pekerjaan, ada juga memang dibuat oleh aktor-aktor politik tertentu, diberi modal untuk agenda-agenda tertentu. Lagi-lagi, kita jadi obyek saja.
Yang besar-besar ya seperti kanal podcast Close The Door DC, AFU, dll. yang sering kita tonton, termasuk proyek seperti Malaka Project dan sejenisnya. Itu cuannya gede banget. Saya tidak bisa percaya cuan mereka dari AdSense. Termasuk AdSense KDM. Nonsense!
Semua itu proyek politik, minimal untuk tujuan politik pribadi mereka. Adakah yang benar-benar murni produk jurnalistik? Segelintir, itupun tetap cari cuan dari politik. Kalau cara-caranya mungkin pakai standar jurnalistik, tapi jika tujuannya tidak sesuai dengan tujuan jurnalistik ya tidak bisa disebut murni produk jurnalistik.
Jadi, mengapa Hasan Nasbi mengkritik Purbaya?
Ya karena dia adalah konsultan politik dari orang-orang yang berseteru dengan Purbaya. Pakai teori relasi politik saja. Gak susah membacanya.
Tafsir liarnya, ya Hasan Nasbi sedang menawarkan jasa ke Purbaya. Mau usaha anda lancar, langgeng, dan sukses? Pakai jasa kami !