Menilik Amy Chua melalui Political Tribes

By Admin


Oleh: Swary Utami Dewi

(Alumni Universitas Indonesia dan Monash University)


nusakini.com - Aksi Literasi Bedah Buku ke-3, pada Jumat, 19 Juni 2020, menampilkan buku karya Amy Chua berjudul Political Tribes: Group Instinct and the Fate of Nation. Pembahasnya adalah wartawan senior sekaligus penggemar buku, Manuel Kaisiepo, dengan penanggap Usman Kansong dan Putri Jasmine.

Mirip bahasan minggu lalu, buku Amy Chua ini membahas tentang politik identitas yang makin menonjol di Amerika Serikat (AS) sejak terpilihnya Donald Trump menjadi Presiden. Berbagai identitas kelompok yang sejatinya bernilai positif, alih-alih menjadi berbahaya saat identitas ini justru menjadi pemecah dan pemicu konflik.

Manuel menilai Amerika yang seharusnya menjadi "melting pot" untuk berbagai keragaman, ternyata menunjukkan kegagalan karena adanya politik identitas. Mengapa ini terjadi? Sistem pasar bebas dan liberasi yang selama ini diagung-agungkan ternyata tidak bisa dinikmati semua. Di balik gemerlap kemajuan ekonomi Amerika, ada kelompok-kelompok marjinal yang tidak diuntungkan dan tidak mendapat tempat dalam sistem ini. Mereka inilah yang mempertajam politik identitas dengan berbagai akibatnya. 

Kegagalan sistem ekonomi di Amerika yang dinilai memunculkan kaum minoritas dan marjinal juga disorot oleh beberapa peserta diskusi, seperti Nur Iman Subono, Irwandi Maek dan Andrinof Chaniago. Marjinalisasi ini pada gilirannya memicu makin menguatnya politik identitas sebagai bentuk perlawanan terhadap sistem yang dirasa tidak adil. 

Terkait hal ini, Putri Jasmine, lulusan anyar Universitas Pajajaran, menggarisbawahi perlunya mengelola politik identitas. Politik identitas yang tidak dikelola, alih-alih bernilai positif, malah melahirkan berbagai hal yang tidak diinginkan. Politik identitas yang kebablasan malah bisa menjerumuskan.

Sementara itu, Usman Kansong yang merupakan wartawan terkemuka Indonesia, mengatakan kasus George Floyd merupakan contoh relevan dari bagaimana politik identitas ini terjadi dan lalu berkembang ke arah yang tidak dikehendaki seperti sekarang ini. Karenanya lewat buku Political Tribes, Amy Chua menawarkan identitas nasional Amerika sebagai bentuk identitas yang bisa mewadahi semua keragaman yang ada.

Beberapa peserta diskusi juga memberikan berbagai catatan menarik. Airlangga Pribadi, misalnya, mengkritik Amy Chua yang melupakan perasaan "tidaknyaman" dari kelompok yang selama ini tertindas sejak lama, jauh sejak belum berkembangnya ekonomi liberal seperti sekarang ini.

Yance Arizona menegaskan bahwa politik identitas bisa lahir karena sebab lain. Ketimpangan ekonomi bukan satu-satunya pemicu. Pada konteks Indonesia di era reformasi, terjadi gesekan keras antara dua kelompok yang berbeda afiliasi politiknya, yang dipicu pandangan "berbeda" terhadap masing-masing pihak. Ini menunjukkan adanya tribalisme politik yang lahir karena alasan yang berbeda, selain dari alasan ketimpangan ekonomi tadi. 

Prof. Zulfan Tadjoeddin lain lagi. Pengajar di Western Sydney University ini mengkaitkan penjelasan Amy Chua dengan konsep "ketimpangan horizontal", yang digaungkan Frances Stewart sejak awal tahun 2000an. Secara sederhana horizontal inequality ini bisa diartikan ketimpangan antar kelompok yang berbeda secara kultur. Mirip dengan "group inequality". Ketimpangan horizontal ini jika tidak cepat diatasi, bisa menjurus pada konflik dan perpecahan. Dan kunci dari mengatasi ketimpangan ini adalah tindakan afirmatif (affirmative action).