Menkes Tegaskan Ganja Hanya Untuk Penelitian Medis, Bukan Kebutuhan Rekreasi

By Abdi Satria


nusakini.com-Jakarta-Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin kembali menegaskan bahwa pihaknya mengizinkan penelitian medis terkait khasiat tumbuhan ganja. Tapi, masyarakat tetap tak diperbolehkan mengonsumsinya untuk kebutuhan rekreasi.

"Kalau selama ganja dipakai untuk penelitian medis, itu kita izinkan. Tapi bukan untuk dikonsumsi," kata Budi kepada wartawan di Jakarta, Ahad (3/7).

Budi menjelaskan, pihaknya memperbolehkan penelitian ganja medis karena mariyuana sama halnya dengan tumbuhan-tumbuhan lain. Pada Rabu (29/6) lalu, Budi mengatakan bahwa pihaknya akan segera menerbitkan regulasi terkait penggunaan ganja untuk kebutuhan medis.

Regulasi itu akan mengacu pada hasil kajian Kementerian Kesehatan (Kemenkes) terkait penggunaan ganja untuk medis. "Kami sudah melakukan kajian. Nanti, sebentar lagi, akan keluar regulasinya untuk kebutuhan medis," kata Budi.

Isu penggunaan ganja untuk pengobatan mencuat setelah seorang ibu bernama Santi Warastuti melakukan aksi damai di kawasan Bundaran Hotel Indonesia, Jakarta pada Car Free Day (CFD), Ahad (26/6). Datang dari Yogyakarta, Santi membawa anaknya bernama Pika yang mengidap cerebral palsy atau gangguan yang mempengaruhi kemampuan koordinasi tubuh seseorang.

Saat aksi damai itu, Santi berjalan dengan memegang papan putih dengan tulisan besar: "Tolong Anakku Butuh Ganja Medis". Santi juga membawa sebuah surat yang ditujukan kepada hakim Mahkamah Konstitusi agar segera memutuskan gugatan uji materi terhadap UU No 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang ia mohonkan sejak dua tahun lalu.

Dia merasa dirugikan karena penggunaan ganja dilarang untuk kebutuhan medis sebagaimana diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 8 pada UU. Dia meminta MK melegalkan penggunaan ganja untuk pengobatan.

Sementara, Ikatan Dokter Indonesia (IDI) juga akan ikut meneliti manfaat tanaman ganja untuk kebutuhan medis. Hasil riset itu akan diserahkan kepada Kementerian Kesehatan untuk dijadikan acuan dalam membuat kebijakan terkait tatalaksana pengobatan dengan mariyuana.

photoOrang Tua dari Anak yang mengidap cerebral palsy Santi Warastuti (kiri) bersama Ketua Pembina Yayasan Sativa Nusantara Prof Musri Musman (kanan) mengikuti Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (30/6/2022). Rapat tersebut mendengar aspirasi dari masyarakat terkait legalisasi ganja untuk medis.Prayogi/Republika. - (Prayogi/Republika.)

SHARE

"Sebagai usulan dari organisasi profesi IDI, kita mendorong ini (ganja medis) menjadi bagian riset terlebih dahulu. Baru kemudian kita melangkah untuk menjadikannya suatu bagian dari standar pelayanan kesehatan," kata Ketua IDI, M Adib Khumaidi, Ahad.

Adib menjelaskan, riset yang dilakukan pihaknya berupaya melihat aspek keselamatan pasien ketika mendapatkan pengobatan ganja. Selain itu, riset itu juga ditujukan mencari tahu efek samping dari penggunaan ganja medis.

Lebih lanjut, riset itu juga akan mengkaji penyakit apa saja yang terapinya bisa menggunakan ganja medis. Penelitian itu juga akan membahas soal dosis ganja medis, pihak yang berwenang memberikan dosis, dan pihak yang bertanggung jawab memperhatikan efek sampingnya.

Adib menyebut, riset amat penting dalam upaya menjadikan mariyuana sebagai bagian dari tatalaksana pengobatan, agar regulasi yang dibuat benar-benar berdasarkan bukti ilmiah. Dengan begitu, keselamatan pasien dapat terjamin.

photoPasien menunjukkan ekstrak ganja dalam bentuk minyak yang dipergunakan secara medis di Thailand di Bangkok, Thailand, pada 2020 lalu. - (EPA-EFE/NARONG SANGNAK)

SHARE

Terkait proses riset itu, ujar Adib, kini pihaknya baru pada tahap pengumpulan referensi-referensi ilmiah yang sudah mengkaji ganja untuk pengobatan. Referensi ilmiah yang terkumpul akan dijadikan acuan dalam melaksanakan riset.

Ketika ditanya apakah riset itu akan rampung dalam waktu satu tahun, Adib tak bisa memastikannya. Dia hanya mengatakan, dalam tahap penelitian lanjutan, pihaknya akan bekerja sama dengan Kemenkes, serta Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Anggota DPD RI asal Aceh, HM Fadhil Rahmi, juga menilai potensi ganja untuk keperluan medis sangat besar. Ia mengatakan usulan legalisasi ganja untuk keperluan medis patut dipertimbangkan.

Fadhil mengatakan, di Indonesia penggunaan ganja medis terganjal Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Sebab ganja termasuk dalam narkotika golongan I. "Namun bukan berarti undang-undang ini tidak bisa direvisi. Kalau manfaatnya besar dan sudah ada kajian ilmiahnya, kenapa tidak? Profesor Musri dari USK sudah melakukan penelitian terkait hal ini," kata Fadhil.

Ia menjelaskan, legalisasi ganja untuk medis bukan berarti nantinya ganja bisa ditanam bebas. Menurutnya tetap ada prosedur dan aturan yang ketat. "Contoh hanya tempat yang disetujui dan pihak tertentu yang bisa menanamnya. Tanam hanya untuk keperluan medis serta dijaga dengan ketat. Sangat memungkinkan,” kata dia.

Ia mencontohkan, ketika UU Narkotika direvisi dan ganja tak lagi masuk sebagai narkotika kelas satu, maka memungkinkan di Aceh dijadikan tempat khusus budidaya ganja untuk keperluan medis. Tempat ini nantinya akan diawasi serta dikawal dengan ketat.

"Jadi bukan berarti dengan legalisasi ganja untuk medis, maka semua bisa tanam sesuka hati. Tetap ada aturannya. Yang menyalahgunakan ganja tetap ditangkap," ujar dia.

Sementara itu, Badan Narkotika Nasional (BNN) saat dikonfirmasi belum dapat memberikan komentarnya terkait usulan legalisasi ganja untuk medis. (Republika)