nusakini.com-Jakarta-DPR dan pemerintah berencana menggelar rapat kerja sebagai tindak lanjut putusan Mahkamah Konstitusi (MK) soal UU Cipta Kerja pada 6 Desember mendatang. Wakil Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR Willy Aditya mengingatkan pemerintah tak membuat aturan turunan UU Cipta Kerja hingga perbaikan selesai.

"Kita akan raker nanti bersama pemerintah tanggal 6 Desember untuk membahas beberapa pokok-pokok, menyimak, mencermati keputusan MK," ujar Willy di Gedung Nusantara, Kompleks Parlemen, Jakarta, Jumat (26/11).

Anggota Badan Legislasi (Baleg) DPR yang juga panitia kerja Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja Ledia Hanifa menyarankan DPR dan pemerintah merevisi Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (PPP). Upaya ini menjadi langkah pertama untuk perbaikan UU Cipta Kerja yang diputus Mahkamah Konstitusi (MK) inkonstitusional bersyarat.

Pokok revisi UU PPP tersebut membuat pengaturan terkait tata cara pembentukan undang-undang dengan metode omnibus law. "Berdasarkan ketentuan UU yang mengatur tentang tata cara pembentukan UU dengan metode omnibus law tersebut, pemerintah kemudian mengajukan RUU baru dalam rangka memperbaiki UU Cipta Kerja sebagaimana amanat putusan MK," ujar Ledia, Jumat (26/11).

Terkait

Pertemuan Istimewa WHO Bahas Varian Afrika

IFRC: Ada Dampak Sekunder Pandemi

Sekali Lagi Omnibus Law

Penerbangan RI-Saudi Dibuka

Pembatasan Nataru di Daerah tak Seragam

Ia menjelaskan, sesungguhnya metode omnibus law sendiri tidak memiliki dasar hukum. Sebab, dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 yang mengubah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang PPP tidak mengatur metode tersebut.

"Proses, tahapan, dan prosedur RUU perbaikan terhadap UU Cipta Kerja tersebut harus dipastikan taat asas dan prosedur sesuai dengan pedoman yang disepakati," ujar politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) ini.

Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra menilai UU Cipta Kerja menggunakan metode omnibus law yang meniru Amerika Serikat dan Kanada. Namun, metode tersebut berbenturan dengan UU PPP.

"Tidak heran dan tidak kaget jika MK menyatakan UU Cipta Kerja inkonstitusional, masih bagus MK hanya menyatakan inkonstitusional bersyarat. Kalau murni inkonstitusional, maka pemerintah Presiden Jokowi benar-benar berada dalam posisi yang sulit," ujar Yusril.

Yusril mengatakan, dalam UU PPP, setiap pembentukan peraturan maupun perubahannya, secara prosedur harus tunduk pada undang-undang tersebut. Adapun dalam undang-undang tersebut, tak mengatur metode omnibus law. "Sebab itu, ketika UU Cipta Kerja yang dibentuk dengan meniru gaya omnibus law diuji formil dengan UU Nomor 12 Tahun 2011, UU tersebut bisa dirontokkan oleh MK," ujar Yusril.

Menteri Hukum dan HAM (Menkumham) Yasonna Laoly menegaskan pemerintah akan mematuhi putusan MK terkait putusan UU Cipta Kerja. Yasonna mengatakan, pemerintah tidak akan menerbitkan aturan baru yang bersifat strategis sampai perbaikan dilakukan dalam dua tahun mendatang. Namun, dia mengeklaim UU Ciptaker tetap berlaku secara konstitusional hingga dilakukan perbaikan.

"Pemerintah akan segera menindaklanjuti putusan MK untuk menyiapkan perbaikan UU dan melaksanakan dengan sebaik-baiknya arahan MK lain sebagaimana dalam putusan," kata Yasonna.

Awasi kepatuhan

Pakar hukum tata negara Bivitri Susanti mengajak masyarakat mengawal kepatuhan pemerintah dan DPR terhadap putusan MK soal UU Cipta Kerja. Bivitri menekankan putusan MK bukan berarti kemenangan bagi buruh karena UU Cipta Kerja tetap berlaku sampai dua tahun lagi.

Hanya saja, ada angin segar karena tidak boleh lagi ada peraturan pelaksana dalam dua tahun ini. "Tetapi inipun berarti, peraturan pelaksana yang sudah ada dan penuh kritik, tetap berlaku," ucap Bivitri.

Oleh karena itu, Bivitri mengimbau semua elemen masyarakat memasang mata dan telinga guna memastikan putusan MK benar-benar dijalankan pemerintah dan DPR. "Kita semua harus mengawasi apakah pemerintah benar-benar menangguhkan segala tindakan/kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas dan tidak menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Cipta Kerja," tutur Bivitri.

Ketua Yayasan LBH Indonesia (YLBHI) Asfinawati putusan MK menunjukkan kesalahan pemerintah dan DPR yang telah melanggar konstitusi. Bahkan pemerintah dan DPR juga melanggar prinsip pembuatan UU.

"Walaupun putusannya inkonstitusional bersyarat dimana pemerintah diberikan kesempatan untuk memperbaiki. Tetapi putusan MK menggambarkan kekeliruan yang prinsipil," kata Asfinawati.

YLBHI juga sepakat dengan putusan MK soal penaguhan segala tindakan atau kebijakan yang bersifat strategis dan berdampak luas, serta tidak dibenarkan pula menerbitkan peraturan pelaksana baru yang berkaitan dengan UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. (rep)