Polemik Isu Kenaikan BBM Subsidi Dimata Direktur Eksekutif Srikandi Energi Indonesia

By Ahmad Rajendra

 

Nusakini.com--Jakarta--Masyarakat Indonesia dalam beberapa waktu belakangan ini tengah ramai berpolemik terkait isu kenaikan harga BBM Subsidi oleh Pemerintah. Wacana kenaikan ini semakin menguat setelah Menteri Keuangan Sri Mulyani menyatakan jika harga BBM subsidi tidak dinaikan, maka akan membebani APBN mendatang. 

"Bahwa negara memberikan subsidi saat harga minyak dunia tinggi, saat ini inflasi yang terjadi di negara kita relatif sangat rendah, sekitar 4,9%. Hal ini disebabkan oleh kebijakan subsidi BBM dan capaian produksi bahan pokok nasional tanpa harus impor," kata Annisa Nuril Deanty, Direktur Eksekutif Srikandi Energi Indonesia melalui keterangan tertulis pada media, Rabu (31/8).

Jika pemerintah saat ini menganggap subsidi terlalu besar dan sangat memberatkan APBN, hingga menyebabkan negara pailit. Maka Pemerintah seharusnya tidak bersikap panik atau gagal paham. Karena yang dihadapi sektor migas nasional adalah masalah produksi yang sangat rendah dan pengawasan yang kurang maksimal bukan masalah subsidi, tambah Annisa.

"Migas merupakan cabang produksi yang menguasai hajat hidup orang banyak. Putusan MK menyebut: harga BBM dan BBG tidak boleh diserahkan sepenuhnya ke mekanisme pasar (Putusan MK Nomor 002/PUU-I/2003). Artinya, harus ada produk BBM yang disubsidi agar tidak sama dengan harga pasar. Namun pada faktanya harga Pertamax dijual di bawah harga keekonomian," papar Annisa.  

"Bisa kita bandingkan harga BBM Ron 92 dengan harga BBM sejenis yang dijual SPBU swasta. Secara teoritis, subsidi atas barang menimbulkan banyak penyimpangan, sebagai contoh produk yang sama punya dua harga. Ada solar subsidi dan  solar industri, jenis dan kualitasnya sama. Elpiji ada yang dijual subsidi (tabung 3 Kg), ada yang dijual harga pasar (tabung 3 Kg dan 12 Kg)," sambung Annisa. 

Dibeberkan Annisa lagi, "BBM oktan 90 (pertalite) yang diproduksi Pertamina dilepas jauh di bawah harga produk sejenis yang dijual SPBU swasta. Dalam teori pilihan rasional, orang akan lari ke produk yang lebih murah. Kalau ada yang murah, kenapa beli yang mahal."

Konsekuensinya subsidi tidak jatuh ke tangan yang tepat. Orang-orang kaya pakai elpiji tabung 3 Kg. Orang-orang punya mobil pakai pertalite dan biosolar.  Pengusaha ikan tangkap, pemilik kapal-kapal besar, menadah solar subsidi ketimbang beli solar industri. 

"Riset BKF, 60% masyarakat terkaya menikmati 79.3% persen BBM subsidi, 40% masyarakat terbawah hanya 20.7%. Tidak adil bukan? Solar subsidi dinikmati 72% rumah tangga desil 6 teratas. Masyarakat dengan desil 4 ke bawah hanya 21%. Tidak adil bukan?" ujar Annisa.

Studi Schuhbauer et al (2020) menyebut solar subsidi dinikmati 7% nelayan skala kecil dan selebihnya oleh sektor perikanan skala besar. Tidak adil bukan? 

Survei KNTI (Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia) menyebut 38.4% nelayan tidak memiliki surat rekomendasi untuk membeli solar subsidi; 36.2% tidak mengetahui ada BBM bersubsidi; dan 22.2% tidak ada penjual BBM bersubsidi di sekitar lokasi.

"Coba kita melihat  kebelakang bahwa permasalahannya bukanlah dari subsidi melainkan capaian produksi yang rendah yakni diangka 616, 35 barel per hari (bph) sedangkan kebutuhan masyarakat ada diangka 1,4 juta barel per hari (bph), sehingga Indonesia harus mengimpor kekurangan dari kebutuhan masyarakat tersebut yang mengakibatkan kita harus mengikuti harga pasar dan pengawasan yang tidak maksimal serta tidak berjalan dengan baik, kata Annisa.

Undang-undang No 22 tahun 2001 tentang migas mengamanatkan fungsi pengawasan berada pada BPH Migas. Namun kita ketahui bahwa BBM subsidi masih belum tepat sasaran hingga pengguna BBM subsidi melebihi perhitungan. Inilah yang membuat beban APBN bertambah.

Solusi dari permasalahan tersebut adalah Pemerintah harus mempunyai roadmap jangka panjang tentang transisi energy dari energy mahal beralih ke energi murah dan bersih. Energi final kita dipasok dari pembangkit yang mayoritasnya fosil, khususnya batubara. Pembangkit listrik tenaga panas bumi belum bisa bersaing, dalam keekonomian. "Kita harus ubah PP No. 79 Tahun 2014 yang memungkinkan kita punya pembangkit listrik tenaga nuklir. Bukannya PLTN bahaya? Kalau bahaya, negara-negara maju pasti meninggalkannya. Semua negara maju ternyata punya PLTN. Kalau kita kampanye mobil listrik, tapi sumber energi finalnya seperti sekarang, itu sama halnya kampanye minal fosil ilal fosil (dari fosil ke fosil)," katanya. 

Dalam jangka menengah, kita harus menata sistem administrasi untuk memastikan subsidi tepat sasaran. Subsidi harus jatuh ke tangan yang tepat. Syaratnya kita harus punya SIN (Single Identity Number) yang handal. Hanya mereka yang berhak yang boleh mendapat subsidi. Langkah Pertamina merilis aplikasi MyPertamina adalah transisi untuk memastikan BBM subsidi tepat sasaran. Pada akhirnya, jika telah tersedia big data kependudukan, Indonesia bisa bergerak dari subsidi barang ke subsidi orang. 

"Dalam jangka pendek, menaikkan harga BBM subsidi, jika harga minyak terus bertengger di kisaran US$100 per barel, adalah pil pahit yang harus kita telan untuk kesehatan fiskal negara. Syaratnya, Pemerintah harus menghitung daya beli masyarakat, willingness to pay, dan inflasi," tutup Annisa.(rilis)