Sejarah: Ini Dua Sosok Pejuang Kemerdekan RI di Maros yang Terlupakan

By Admin


nusakini.com - Maros - Era perjuangan kemerdekaan RI di wilayah Maros, atau saat ini dikenal dengan Kabupaten Maros, Sulsel, terdapat dua nama pejuang yang tak terlalu dikenal, namun memiliki jejak yang cukup dikenang di kabupaten Maros, Sulsel.

Pemerhati sejarah dari kawasan Lebbo Tengngae, atau sekitar wilayah Mallawa Camba/ perbatasan wilayah Maros dan Bone, mengungkapkan, dua nama tersebut adalah Baddare Daeng Situru’ dan M. Gazali. Mereka berdua inilah sosok pejuang yang melawan Belanda saat itu.

Menurutnya, meski kurang populer di Sulsel, namun ternyata peranan Baddare Daeng Situru dan M. Gazali sangat penting dalam era perjuangan kemerdekaan RI.

“Mereka berasal dari salah satu wilayah di Kabupaten Maros yakni Camba. Bermula dari menjadi guru, kedua tokoh Muhammadiyah Camba ini, akhirnya menjadi komandan pasukan KRIS muda di Camba,” jelas Pemerhati sejarah dari kawasan Lebbo Tengngae, melalui pesan WAG Himpunan Mahasiswa Lebbo Tengngae yang dikutip, Selasa (12/10/2021) lalu. 

Menurut pemerhati tersebut, pada akhir September 1945, atas inisiatif Ratulangi dan Manai Sofyan (ketua PPNI: Pusat Pemuda Nasional Indonesia) dibentuklah TRIP (Tentara Republik Indonesia Pelajar), dan PMP yang dipimpin Baddare Daeng Situru bergabung dalam TRIP bersama M. Gazali.

Selanjutnya, pada Juni 1946, kekuatan militer dan senjata pasukan pegunungan Camba lebih kuat dari Maros.

“Bersama M. Gazali, di Toolu Sawaru Camba, pemuda pemuda dilatih militer khusus. Terjadi juga pelucutan senjata dari Karaeng Karaeng/ kepala distrik yang dianggap membantu NICA di Lebbo Tengngae yang dipimpin langsung oleh Baddare Daeng Situru dan M. Gazali, dan dibantu oleh Abdul Hamid K, Mannawi, Abdul Wahid Kolaka, Andi Palinrungi Arung Cenrana dan Salam Rukka,” jelasnya.

“Adapun kekuatan senjata Camba tak lepas dari peran M. Gazali (atau dikenal dengan tuan guru Mangga/Manggazali)", tambahnya.

Olehnya, di Maros saat itu dua strategi dilakukan, yaitu pasukan Camba dengan kekuatan militernya berjuang lewat kontak senjata. Sedangkan pasukan Maros menjalankan strategi sabotase, misalnya pembakaran pasar malam oleh Andi Nurdin Sanrima bersama kawan kawan pejuang lainnya.

Selanjutnya, diketahui banyak organisasi pejuang yang hadir saat itu, dan anggotanya pun banyak yang rangkap anggota. Salah satunya yang terbentuk adalah KRIS Muda Mandar di Maros/Camba, dengan tokoh sentral KRIS muda adalah Nurdin Djohan, Baddare Daeng Situru dan M. Gazali.

“Dari Markas mereka pun akhirnya bergabung pasukan dari Andi Mappe (tokoh pejuang Pangkep). Dalam penyamarannya ke Makassar, Nurdin Djohan tertangkap Belanda,” jelasnya.

“NICA yang saat itu merasa jengkel terhadap para pejuang Maros akhirnya menangkap istri Baddare Daeng Situru, istri M. Gazali, istri dan istri pejuang lainnya. Akhirnya, pada awal Maret 1950, Baddare Daeng Situru, M. Gazali dan beberapa pejuang lainnya juga ditangkap oleh Belanda. Perjuangan mereka pun (1945-1950) ini pun berakhir,” pungkasnya.

Sementara itu salah satu cucu dari M. Gazali bernama M. Saifullah mengatakan, pasca KMB, M. Gazali pernah menjadi Wakil Bupati Maros merangkap Camat Mandai pertama.

“Pernah jadi wakilnya pak Makmur Sitakka yang Bupati pertama Maros. Rangkap jadi Camat pertama Mandai itu Kakek saya. Itu yang saya dengar cerita dari nenek dan ayah saya,”kata Saifullah.

Menurut Saifullah jabatan itu tak lama, disebabkan adanya perubahan politik di Maros kala itu.

“Tidak lama, diambil alih sama Kasim DM waktu itu,”jelas Saifullah.

“Setelah itu kakek saya tinggalkan Maros dan tinggal di Jalan Seram Makassar atau sekarang Jalan Tentara Pelajar, hingga akhirnya meninggal dan dimakamkan di taman makam pahlawan Panaikang,” pungkas Saifullah. [Konten Media Partner: dailymakassar.id]