Tarjih, Manhaj, Madzhab dan Firqah !

By Admin


Oleh : Egha


Belajar Agama hal yang penting bagi umat Islam, ini adalah perwujudan tugas kehambaan sebagai manusia, ini terbentuk dari kesadarannya sebagai makhluk yang mempunyai akal dan mempunyai tugas lebih dari makhluk lainnya sebagai khalifah.

Dalam proses belajar ditemukan berbagai istilah dalam Bahasa Arab ataupun dalam Pustaka Islam, di sini akan coba dijelaskan sedikit hanya empat istilah yakni Tarjih, Manhaj, Madzhab dan Firqah dari begitu banyak istilah dalam Pustaka Islam. 


Tarjih. 

Tarjih adalah termasuk salah satu kaidah dalam ilmu ushul fiqh. Dari segi Bahasa arti Tarjih adalah kecenderungan atau lebih condong kepada salah satu dari dua sisi. Dalam terminologi ushul fiqh diartikan Menguatkan salah satu dari dua dalil atas dalil yang lain, dan metode Tarjih ini digunakan juga dalam Ilmu Hadist. 

Manhaj

Makna dari kata manhaj secara bahasa adalah al- ṭarīq al-wāḍiḥ atau jalan yang jelas. (Muḥammad Ibn Abū Bakar al-Rāzī, Mukhtār al-Ṣiḥāḥ).

Kata manhaj dilekatkan dengan kata salaf jadi manhaj salaf, dilakukan dan dipopulerkan oleh salafi wahabi sebagai jargon sebagaimana jargon lain mereka yakni “Kembali kepada Al Qur’an dan Hadist”. Dan istilah manhaj salaf kalo kita mau jujur belum ada zaman Rasulullah, sahabat dan tabi’in, apakah ini hal yang baru (bid’ah) ?.

Manhaj Salafi Wahabi kalau dilihat hanya sebagai suatu manhaj (metode) biasa, lain dari madzhab yang merupakan wadah bagi pandangan2 lengkap tentang hukum2 taklif dalam islam. Bisa jadi penggunaan kata ‘manhaj’ bukan kata ‘madzhab’, untuk menghindari dan diidentikkan dengan taqlid.

Salafi wahabi menerangkan bahwa Manhaj Salaf yang dimaksud ialah mengikuti metode ulama salafussalih dalam memahami agama. Akan tetapi salafi wahabi tidak menjelaskan secara detail siapa dan bagaimana metode salafussalih tersebut.

Dari sejarah bisa kita lihat sahabat, tabi’in dan tabi’ut tabi’in terhadap hukum islam sangat bermacam-macam dan juga metode yang ditawarkan juga berbeda, berarti tidak sesederhana seperti yang dibayangkan oleh salafi wahabi kalo metode para sahabat bersifat tunggal.

Coba perhatikan para pendiri fikih empat madzhab, mereka ini termasuk dalam kategori salafussalih. Mereka hidup pada abad kedua dan ketiga: Abu Hanifah lahir tahun 80 H, Malik bin Anas lahir 93 H, Muhammad bin Idris al-Syafi’i lahir tahun 150 H, Ahmad bin Hanbal lahir tahun 164 H.

Kalaulah salafi wahabi mau fair dan konsisten, mestinya empat tokoh ini perlu menjadi rujukan utama, baik dalam persoalan akidah, fikih, ataupun ushul fikih. Tapi agak mengherankan, kelompok salafi-wahabi agak alergi dengan orang yang mengikuti pendapat ulama madzhab di atas, padahal mereka termasuk generasi salaf.

Salafi-wahabi lebih suka merujuk pendapat Ibnu Taimiyyah dan Ibnu Qayyim, padahal keduanya termasuk generasi khalaf, mereka hidup ratusan tahun setelah wafatnya generasi salaf. Tidak hanya itu, salafi-wahabi dalam persoalan fikih juga lebih sering mengutip pendapat Bin Baz, Utsaimin, dan al- Bani, padahal tokoh-tokoh ini satu masa dengan kita. (Buku Pintar Salafi Wahabi, Tim Harakah Islamiyah)

Satu hal lagi Salafi Wahabi membakukan kemurnian aqidahnya dengan trilogi tauhid (tawḥīd al-rubūbīyah, tawḥīd al-ulūhīyah, dan tawḥīd al- asmā’ wa-al-ṣifāt) dan ini masuk dalam ranah teologi yang prinsipnya sangat berbeda jauh dengan Aqidah Aswaja yakni Ash’ariyah.


Madzhab

Madzhab adalah istilah dari bahasa Arab, yang artinya jalan yang dilalui dan dilewati, sesuatu yang menjadi tujuan seseorang baik konkret maupun abstrak. Sesuatu dikatakan mazhab bagi seseorang jika cara atau jalan tersebut menjadi ciri khasnya. (Ibnu Manzhur, Lisân Al-’Arab, h. 1522, Dar Al-Ma’arif, Kairo, Mesir).

Bagi kebanyakan orang madzhab dimaknai sebagai keyakinan yang merupakan sebagian pondasi dari agama, dengan menambahkan syarat-syarat tertentu untuk menentukan sah tidaknya seseorang menjadi muslim. Dan ini bisa mengakibatkan timbulnya ta’ashub (fanatik) yang bisa menjadikan terjadinya konflik sektarian di tengah masyarakat.

Allah SWT yang Maha Suci menyampaikan wahyu kepada Rasul-Nya, dan wahyu ini akan senantiasa berada dalam kesucian dan tetap terjaga dari segala sesuatu yang tidak suci.


لَّا يَمَسُّهٗٓ اِلَّا الْمُطَهَّرُوْنَۙ

“Tidak ada yang menyentuhnya, kecuali para hamba (Allah) yang disucikan”. (QS. 56 : 79) 

Begitupun saat wahyu disampaikan oleh Rasulullah SAW, tetaplah suci karena yang menyampaikan adalah manusia suci. 

وَمَا يَنْطِقُ عَنِ الْهَوٰى * اِنْ هُوَ اِلَّا وَحْيٌ يُّوْحٰىۙ

"dan tidak pula berucap (tentang Al-Qur’an dan penjelasannya) berdasarkan hawa nafsu(-nya),  Ia (Al-Qur’an itu) tidak lain, kecuali wahyu yang disampaikan (kepadanya)". (QS. 53 : 3-4) 


Ini lah Yang mutlak suci yakni wahyu Tuhan yang diturunkan berupa Alquran dan Sunnah Nabi. Keduanya akan tetap mutlak dan suci, wahyu Tuhan dalam konteks ini adalah Agama. Sekarang bagaimana halnya terkait wahyu (agama) yang disampaikan dari Rasul ke bukan Rasul ?. Selain Rasul tidaklah mutlak dan suci, saat diterima ke bukan Rasul maka terjadi relativitas, ia bukan lagi wahyu tapi persepsi yang relatif. Pemahaman dan cara pandang orang yang tidak mutlak dan suci terhadap wahyu yang mutlak dan suci, ini kemudian disebut sebagai madzhab.

Jadi agama yang dipahami kebanyakan orang selama ini sesungguhnya adalah madzhab, itu merupakan interpretasi terhadap wahyu, dan tidak suci dan tidak bisa dimutlakkan. Orang atau golongan yang memutlakkan pemahamannya terhadap agama sama dengan agama dan tak mampu membedakannya, akan sangat mungkin terjerumus dalam sikap intoleransi bahkan bisa menuju kearah melakukan pemaksaan dan kekerasan dengan mengatasnamakan agama.

Madzhab dijelaskan oleh para ulama islam adalah metode (manhaj) yang dibentuk setelah melalui pemikiran dan penelitian, kemudian orang yang menjalaninya menjadikannya sebagai pedoman yang jelas batasan-batasannya, bagian-bagiannya, dibangun di atas prinsip-prinsip dan kaidah-kaidah.

Belajar dari sejarah Mujtahid Imam 4 Madzhab yakni Hanafi, Maliki, Syafi’I dan Hanbali adalah kisah tentang manusia sholeh, rendah hati, ilmu yang mumpuni dan tak pernah memutlakkan pandangannya. Kata Imam Syafi,i “Pendapatku benar, tapi mungkin juga keliru, sedangkan pendapat orang lain keliru tapi sangat mungkin benar”. Sementara saat Imam Abu Hanifah ditanya, “Apakah fatwa anda ini kebenaran yang tidak diragukan lagi?”, jawabannya, “Demi Allah, saya tidak tahu, jangan-jangan justru kebatilan yang tidak diragukan lagi”. Mereka mengakui dengan kemungkinan adanya kebenaran ijtihad ulama lain. Ini Kisah tentang toleransi.


Firqah

Secara bahasa al-firqah diambil dari kata firqatun yang berarti golongan atau sekelompok orang.

Kata Firqah (Golongan/ Kelompok) ini menjadi cukup populer dengan adanya hadist tentang perpecahan umat Islam dalam beberapa golongan seperti sabda Rasulullah SAW yang mengatakan akan terjadi perpecahan umat Islam menjadi 73 golongan, dan dari ke 73 golongan itu hanya ada satu yang akan selamat.

Munculnya Firqah-firqah ini terbentuk dari sejarah pemikiran Islam dan juga tak terlepas dari kepentingan politik di zamannya. Dari pemikiran-pemikiran Islam yang ada menimbulkan berbagai Gerakan. Sepanjang sejarah Gerakan Firqah berkembang pesat dan subur di berbagai wilayah Islam.

Permasalahan timbul dalam pemaknaan hadist Firqah, adalah masing-masing Golongan/ kelompok mengklaim bahwa golongan/ kelompok merekalah yang dimaksud golongan/ kelompok yang selamat dalam hadist tersebut, dan menyebabkan penyesatan terhadap kelompok lainnya.

Sebagian Ulama mencoba membagi golongan/ kelompok dan menghitung sekte dalam Islam dengan membagi lagi Madzhab-Madzhab pemikiran kedalam beberapa sub-bagian dan mencukupkannya sehingga berjumlah 73. Seiring perkembangan zaman Madzhab-Madzhab pemikiran ini berkembang terus, bahkan dalam kitab karya Dr. Abdul Mun’im Al Hafni “Ensiklopedia Golongan Kelompok Aliran Madzhab Partai” memuat sekitar 400-an entri Golongan/ Kelompok dalam Islam.

Yang menarik adanya hadist yang bertolak belakang dari hadist popular di atas,

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْر مُحَمَّد بْن عُثْمَان الصيدلاني حَدَّثَنَا أَحْمَد بْن دَاوُد السجسْتانِي حَدَّثَنَا عُثْمَان بْن عَفَّان الْقُرَشِيّ أَنْبَأنَا أَبُو إِسْمَاعِيل الْأَيْلِي حَفْص بْن عُمَر عَن مسعر عَن سعد بْن سَعِيد عَنْ أَنَسٍ مَرْفُوعا: تَفْتَرِقُ أُمَّتِي عَلَى بضع وَسبعين فرقة كلهَا فِي الْجَنَّةِ إِلَّا الزَّنَادِقَة

Artinya: "Telah menceritakan kepada kami Abu bakar Muhammad bin Usman, Telah menceritakan kepada kami Ahmad Bin Dawud. Telah menceritakan kepada kami Usman Bin Affan, telah memberitahu kepada kami Abu Ismail Al aili Hafs ibnu Umar dari Mus'ar dari sa'id bin sa'iid dari Anas secara marfu. Umat ku akan terpecah menjadi 70 lebih golongan, mereka semua ada dalam syurga kecuali orang zindiq,".

Hadits ini terdapat dalam kitab Faishal al-Tafriqah baina al-Islam wa al-Zandaqah karya Imam Al Ghazali. 


Simpulan

Perbedaan adalah suatu keniscayaan, terjadi karena adanya relativitas dalam interpretasi terhadap wahyu. Para sahabat memahami Nabi dengan persepsinya masing-masing. Dan karena itu adalah persepsi maka tidak perlu memutlakkan pemahamannya dan tidak perlu juga bersikeras dengan menyematkan segala jenis kesesatan terhadap yang lainnya. Jika ada Ulama dari golongan/ kelompok tertentu mengemukakan suatu hal yang berbeda dengan pendapat ulama lainnya maka orang yang berpikiran sektarian akan membela ulama tersebut begitupun sebaliknya, akan tetapi yang berpikiran washatiyah akan membiarkannya karena berlaku konsep relativitas.

Atas dasar ini setidaknya kita bisa mencapai titik temu kalimah sawa’ (QS. Âli ‘Imrân [3]: 64), dan bisa hidup bersama berdampingan dengan damai, berkata satu sama lainnya “kami asyik dengan pemahaman kami, kalian pun asyik dengan pemahaman kalian, dan kita asyik akan perbedaan dalam pemahaman masing-masing”. Selanjutnya marilah kita berlomba-lomba dalam kebaikan dan menjadi Rahmat bagi Semesta Alam dengan Akhlakul Karimah. Karena sesungguhnya Surga itu seluas langit dan bumi.


Bogor, 18 Agustus 2024