Tekankan Collaborative Working untuk Atasi Stunting

By Admin


nusakini.com - Jakarta, Wakil Presiden (Wapres) K.H. Ma’ruf Amin mengungkapkan bahwa masalah stunting di Indonesia bersifat multidimensi, mulai dari aspek kesehatan, sanitasi, keluarga, bahkan hingga perumahan, sehingga penanganannya juga melibatkan berbagai kementerian, lembaga, dan pemerintah daerah. Oleh sebab itu, Wapres menekankan pentingnya collaborative working agar penanganan stunting menjadi lebih efektif dan efisien. 

“Jangan sampai (terjadi) ego sektoral. Sibuk sendiri-sendiri (kemudian) tidak nyambung capaiannya. Karena masing-masing kerja, bukan kerjasama. Jadi, bagaimana strategi collaborative working ini bisa efektif, bisa kita konsepkan,” ungkap Wapres saat menerima Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (PMK) Muhadjir Effendy dan Kepala Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Hasto Wardoyo di Kediaman Resmi Wapres, Jl. Diponegoro No. 2, Jakarta Pusat, Jum’at (25/9/2020).

Hal lain, lanjut Wapres, adalah terkait anggaran penanganan stunting yang juga tersebar di berbagai lembaga. Untuk itu, ia meminta agar dilakukan konvergensi anggaran.

“Kemudian yang kedua memang anggarannya itu ada di berbagai lembaga. Perlu adanya konvergensi,” tegasnya.

Dengan demikian, Wapres meminta agar koordinasi antarlembaga dapat dilakukan dengan lebih efektif agar collaborative working dan konvergensi anggaran tersebut dapat terwujud, sehingga penanganan stunting menjadi lebih terstruktur dan terukur.

“Kemudian karena ini menyangkut koordinasi sebenarnya, soal-soal koordinasi mengenai target. Oleh karena itu, memang harus efektif betul koordinasinya,” pintanya.

Sebelumnya, Menko PMK Muhadjir Effendy melaporkan bahwa Kemenko PMK mendapat arahan dari Presiden untuk mengkaji penanganan stunting sehingga penurunan angkanya dapat sesuai dengan target yang telah ditetapkan.

"Capaian dari penanganan stunting yang beliau telah tetapkan dengan Pak Wapres, menargetkan bahwa sampai tahun 2024 itu angka stunting di Indonesia diupayakan bisa turun sampai 14%,” ungkap Muhadjir.

Lebih jauh, Muhadjir menuturkan bahwa terkait penanganan stunting, Kemenko PMK telah mengkaji hal-hal penting seperti landasan hukum (legal standing), potensi kementerian/lembaga yang secara teknis teknis bertanggung jawab penanganan stunting,  

 “Kemudian dalam hal ini, Bapak Wapres, kami menemukan dalam Undang-Undang Nomor 52 Tahun 2009 tentang perkembangan kependudukan dan pembangunan keluarga, dan disitu secara eksplisit bahwa BKKBN adalah organisasi lembaga yang bertanggungjawab terhadap pembangunan keluarga tersebut. Dan kami menilai bahwa masalah stunting ini memiliki bobot urusan keluarga lebih besar dibanding urusan kesehatan,” paparnya.

Selain itu, mengingat penanganan stunting adalah bagian dari masalah kemiskinan yang penanganannya di bawah koordinasi kantor Wapres, Muhadjir merasa perlu melaporkan hal ini kepada Wapres untuk mendapat arahan lebih lanjut. 

Pada kesempatan ini, Kepala BKKBN Hasto Wardoyo juga melaporkan kepada Wapres mengenai kesiapan dan relevansi lembaganya menjadi penanggung jawab utama penanganan stunting di Indonesia, salah satunya dilihat dari payung hukumnya. 

“Undang-Undang 52 Tahun 2009 itu memang mengamanatkan kepada BKKBN untuk melakukan pembangunan keluarga yang berkualitas melalui penyelenggaraan program keluarga berencana, dan secara eksplisit di dalam undang-undang itu, tepatnya di pasal 21, memang disebutkan untuk melaksanakan membantu calon dan atau pasangan suami istri dalam rangka untuk mewujudkan keluarga yang dalam hal ini ada indikator kesehatan reproduksi seperti usia kawin yang ideal, kemudian usia melahirkan yang ideal, jumlah anak, jarak kelahiran dan juga kemudian kesehatan reproduksi itu sendiri. Dan kebetulan itu sangat terkait erat dengan stunting. Karena kalau jaraknya kurang dari dua tahun, maka stuntingnya tinggi. kemudian kalau kehamilan kurang dari 20 tahun maka stunting-nya juga tinggi,” paparnya.

Kemudian, lanjut Hasto, di dalam bab lain di perencanaan kependudukan juga ditekankan BKKBN mengelola pembangunan kependudukan dengan kuantitas, kualitas, dan mobilitas. 

“Sehingga kualitasnya di sini seandainya diarahkan kepada stunting, juga sudah terpayungi di dalam undang-undang,” ungkapnya.

Selain itu, Hasto juga menyampaikan analsisinya mengenai faktor-faktor yang menyebabkan stunting yang sebagian besar relevan dengan tugas dan fungsi BKKBN.

“Kemudian dari faktor yang menyebabkan stunting, dari analisis kami, memang faktor yang tidak langsung itu ada sanitasi, kemudian juga air bersih, pendidikan, sosial ekonomi, dan kemiskinan. Dan faktor yang langsung itu nutrisi, ASI, penyakit. Kemudian faktor menengahnya atau intermediate-nya itu jarak anak, jumlah anak, kemudian umur ibu. Ini yang menjadi ranah kami sebagai bagian dari faktor spesifik yang mestinya kita intervensi,” paparnya.

Sejalan dengan Hasto, Deputi Pembangunan Manusia, Masyarakat, dan Kebudayaan Kementerian PPN/Bappenas Subandi menuturkan bahwa Kementerian PPN/Bappenas adalah pemrakarsa penyusunan payung hukum percepatan upaya penurunan stunting. Terkait hal ini, ia menegaskan bahwa peran BKKBN diperkuat untuk menangani stunting.

“Jadi, BKKBN ini memang diperkuat kontribusinya untuk stunting. Jadi, bukan hanya sebagai penanggung jawab untuk sasaran angkanya saja, kemudian sebagai penanggung jawab kegiatan juga,” ungkapnya. (EP-KIP)