nusakini.com - Makassar - Sengkarut adanya pembatalan dari KASN dan Kemendagri terhadap mutasi pejabat eselon II, khususnya Camat di era Wali Kota Danny Pomanto, mulai terasa.

Seperti yang diungkap oleh pengamat keuangan negara Bastian Lubis, beberapa waktu lalu, yang mengatakan persoalan ini pasti bakal berdampak besar dan serius.

“Ini lebih banyak dampak buruknya dibanding dampak positifnya,” ucap Bastian dihubungi via Whatsapp, Rabu (17/7/19).

Ternyata dampak tersebut itu bukan hanya menimpa kalangan pejabat, namun juga berdampak pada kerjasama pihak kecamatan dengan mitra kerjanya seperti media massa.

Sebagaimana diketahui, beberapa media massa, khususnya media online memiliki kontrak kerjasama dengan kecamatan terkait perberitaan.

Namun karena adanya pengembalian penjabat yang telah dimutasi maka kontrak kerjasama itu menjadi terkatung-katung tak jelas arahnya. Padahal segala persyaratan kontrak telah dipenuhi.

Menurut Camat Rappocini, Hamri Hayya, semua media yang telah melakukan tagihan kerjasama dengan Kecamatan Rappocini hingga saat ini belum terbayarkan. Alasanya, ini atas arahan inspektorat karena ingin diatur sampai di mana batas kewenangan antara camat “lama” ke camat “baru”.

“Jadi kita menunggu arahan baru dari inspektorat,” ujarnya, Senin (2/9/19).

Camat Hamri Hayya kemudian meminta media untuk bersabar sampai ada arahan dari inspektorat. “Sabarki dulu, sambil menunggu arahan inspektorat,” ujarnya.

Menanggapi hal tersebut, pengamat politik dan kebijakan publik, Muh. Saifullah menilai apa yang dikatakan Camat Rappocini agak aneh juga.

“Yang namanya kerja sama dengan institusi itu tidak menunjuk orang per orang, tapi tapi terkait dengan jabatan. Masa’ kerja sama bisa dianulir karena adanya pergantian pejabat. Logikanya di mana?,” ujar Saiful ketika dihubungi, Senin (2/9/19).

Menurut Saiful, inilah dampak paling buruk dari terkait sengkarut pengembalian jabatan ini, segalanya kacau balau.

“Profesionalisme, tata kelola pemerintahan amburadul dibuatnya dan yang paling disayangkan menimbulkan kerugian pihak ke lain. Ini bisa dituntut,” pungkas peneliti Pusat Kajian Politik dan Kebijakan (PKPK) ini. (Ril/Rajendra)