Kaum Pengingkar

By Abdi Satria


Oleh: Swary Utami Dewi


Selalu ada sifat denial di antara manusia. Bahkan terhadap fenomena sosial yang tidak adil dan menindas.

Contoh:

Banyak orang miskin di dunia. 

Dijawab: Gak kok.. aku hidup cukup. Gak ada yang miskin.

Sekolah sekarang mahal.

Dijawab: Gak kok. Aku bisa menyekolahkan anak. Sebulan bayarnya sekian dan sekian.

Sembako hilang dari pasaran

Dijawab: Aku tiap hari ada kok dan dapat selalu di toko x atau pasar x.

Apa yang seseorang alami setiap hari, yang berbeda, seringkali dijadikan ukuran bahwa masyarakat umum mengalami hal yang sama seperti dia.

Kekurangan, susah akses, harga mahal adalah sebagian dari himpitan hidup yang dialami sehari-hari kaum miskin, marjinal, papa dan terpinggirkan, di manapun itu.

Namun selalu ada kelompok kecil tertentu yang merasa tidak ada itu miskin, tidak ada itu antri, tidak ada itu mahal, dsb.

Seringkali kemudahan dan kenyamanan hidup yang dialami segelintir orang, menjadikan mereka buta dan merasa tidak percaya bahwa ada banyak orang tidak hidup seperti mereka.

Kesenjangan struktural, kemiskinan akibat kebijakan yang keliru, serta ketidakadilan sosial lantas seringkali dipandang sebagai karangan, kebohongan, permainan politik, iri hati pada elit dan hal-hal serupa lainnya. (*)