(Opini) Campursari, Kopi dan Rumah Tangga Kami

By Admin


Oleh: Syahid Widi Nugroho*

(WI Kemensos)

Berjogetlah bersama Campursari untuk menyamarkan pahitnya Kopi”

PERNIKAHAN bukan hanya menyatukan dua orang tapi dua keluarga. Makin besar kapasitas kedua pengantin makin besar pula pihak-pihak yang bisa disatukan. Bisa RT, suku bahkan kerajaan atau bangsa. Menyatukan dua orang dalam sebuah rumah tangga saja sudah begitu pelik, apalagi jika harus mempersatukan para pihak yang jumlahnya banyak. Makin banyak ragam perbedaan, penyatuan para pihak makin makan waktu dan energi. Kita melihat – di jaman dulu – dua kerajaan yang berpotensi konflik bisa berkoalisi buah dari pernikahan antar Putra dan Putri Raja. Dua pesantren besar semakin menguat dalam gerakan dakwah dan syiar dengan pernikahan antara Gus dan Ning mereka. 

Betapa jauh rumah tangga kami untuk berkiblat kepada mereka. Bahkan untuk menyatukan kegemaran Campursari dan Kopi saja kami membutuhkan hampir dua puluh tahun kebersamaan. 

Saya penikmat Campursari. Unsur bunyi, alat musik, lirik, intonasi dan nafas Jawa dalam Campursari menjadi kegemaran saya hampir setiap hari. Sayangnya di telinga istri, Campursari sama sekali bukan keasikan. Ia horor. Benar-benar horor. Bertahun-tahun di pesantren ia mendengar alunan Gamelan Tayuban dari desa-desa sekitar dan menganggapnya musik hantu sebagaimana ada di latar film-film. Semua musik Jawa dia anggap sama dengan Tayuban termasuk Campursari.  

Malam-malam masa kecil saya penuh alunan Gending dan Campursari Jawa. Mendengarkannya kembali di masa kini sungguh ekstasi yang tinggi. Selain kelezatan musikalitas, Campursari merekam seluruh kenangan saya tentang desa dan gembira ria seutuhnya. Celakanya, untuk sekedar memutar kembali lagu-lagu itu setelah saya menikah, hampir setara dengan berhubungan dengan mantan: lirih dan sembunyi-sembunyi. Malam yang ada suara Campursari adalah malam ngeri bagi istri. Tak bisa ditawar, saya membunyikannya lirih sekali untuk saya sendiri, dekat sekali dengan telinga. Betapa deritanya. Memutar Campursari adalah derita untuk istri dan mematikan Campursari menjadi derita untuk saya. 

Itu baru satu Campursari. Betapa hanya untuk memahamkan Campursari sudah demikian derita dan ancaman bagi keutuhan rumah tangga. Saya contohkan satu lagi untuk Anda, yaitu soal Kopi.

Istri saya penggemar Kopi. Gresik adalah Kopi. Gresik menggeliat maju di sana-sini, gedung-gedung seperti bermunculan dari dalam tanah cepat sekali tapi warung-warung kopi dipertahankan sedemikian rupa. Istri saya lahir dan tumbuh dalam tradisi kopi yang kental. Sialnya, saya sangat kampungan soal kopi. Saya terlanjur meyakini dalam diri bahwa kopi adalah komoditi warung dan hanya dinikmati laki-laki. Perempuan tidak seharusnya menikmati kopi, boleh menikmati tapi jangan mencandui. Pamali. 

Di warung makan, restoran, jamuan kolega, hajatan warga, hotel dan di setiap kesempatan jalan berdua, istri saya tak bisa tanpa pesan secangkir kopi hitam dengan sedikit gula. Orang-orang membawakan pesanan istri saya itu dan selalu menyodorkan kepada saya karena mereka anggap pesanan itu untuk saya. Sekali dua kali biasa, lama-lama derita. Saya melarang kopi itu jelas derita untuk dia. Melihatnya menikmati kopi lama-lama menjadi derita di hati saya. 

Mengapa saya tidak suka melihatnya minum kopi? Menyedot waktu. Saat dia minum kopi seperti saat waktu sedang berhenti. Lama sekali. Air harus panas agar kopi terseduh dengan matang, untuk mulai minum harus menunggu ampas mengendap tuntas, begitu sudah bisa diminum betapa harus penuh kesabaran saya menunggu sruputan demi sruputan, sedikit demi sedikit, setetes demi setetes lambat sekali. Satu sruputan lalu ngobrol banyak tema, satu tetesan lalu membaca berlembar-lembar buku, satu tegukan lalu membalas banyak grup WA. Kenapa air hitam tidak lebih dari 200 ml dalam cangkir kecil itu tidak segera diminum habis lalu pulang atau mengerjakan hal lain? 

Saya tak habis pikir soal pekerjaan sia-sia ini. Mata rantai minum kopi ini menyiksa saya. Ini baru mata rantai dari kopi bubuk menjadi minuman. Belum mata rantai masuknya Kopi ke rumah kami. Mulai dari belanja online, pesan aneka kopi setiap kali saya keluar kota atau dia berburu sendiri macam-macam kopi dari di berbagai kota. Di rumah kami ada banyak toples kopi bertuliskan asalnya: Kopi Gayo, Kopi Kelud, Kopi Simalungun….. Semua mata rantai itu hal-hal yang tidak perlu.  

Tapi itu dulu. Sekarang saat saya membutuhkan lebih banyak energi untuk berlama-lama di depan layar komputer bersamaan dengan lambung saya yang alhamdulillah kembali bisa menerima aneka minuman, Kopi menjadi kegemaran baru. Awalnya coba-coba. Kata banyak orang, ramuan kopi yang tepat tidak akan mengganggu asam lambung. Saya minta istri meramu untuk saya. Berbagai kadar dia coba. Mulai Kopi Hijau tanpa gula, Kopi hitam murni hingga sekarang ia menemukan takaran yang pas komposisi kopi dan gula. Nikmat sekali. Saya amati setiap kali satu gelas kopi saya habiskan, ampasnya lebih dari seperempat gelas. 

Saya mulai mengerti filosofi kopi dan tahu cara meminumnya. Minum kopi jangan saat haus. Mengopi adalah sebuah pekerjaan yang tujuannya bukan untuk menghentikan dahaga. Bagi saya, mengopi adalah kebutuhan untuk mata terjaga. Sementara ini sesederhana itu. Tapi hikmah dari memahami filosofi kopi tidak sederhana bagi rumah tangga kami. Kami jadi menemukan ikatan baru yang mengurangi potensi kerenggangan akibat proses kebersamaan yang panjang dan banyak menghadapi sandungan. Kopi seperti akad nikah lagi dan malam-malam setelah ngopi seperti malam pertama lagi.

Lalu soal Campursari? Inilah ajaibnya pernikahan: Setiap kali engkau berusaha menyukai kebiasaan pasangan yang semula engkau benci, alam mendorong pasanganmu untuk juga mengerti hal-hal yang awalnya tidak dia sukai. 

Kegemaran istri saya terhadap tulisan dan video budaya mengantarkannya menyukai karya Sudjiwo Tedjo, terutama karya musiknya. Dari Sudjiwo Tedjo ia mulai mengerti lagu dan lirik Jawa yang dalam dan sulit dicerna. Lalu ia mencari lagu dan lirik Jawa yang mudah dimengerti. Bertemulah dengan Denny Cak Nan setelah sebelumnya menyukai Didi Kempot menjelang akhir hayatnya (Kegemaran istri terhadap musikalitas Didi Kempot dipicu oleh tukang gendangnya, Dori Harsa). Lalu dia suka Campursari. Sering pulang dari kerja, saya mendapati speaker rumah menyanyikan Campursari. Enak sekali, seperti saya sedang pulang ke Wonogiri.  

Hanya untuk menyatukan Campursari dan Kopi kami membutuhkan tujuh belas tahun kebersamaan. Pesanku untukmu yang mulai lelah memperjuangkan kebersamaan, bertahanlah. Banyak orang yang menyerah justru di titik selangkah lagi sampai ke tujuan. Langkah-langkah menjelang garis finish memang langkah yang makin berat dan keras. Ia berat dan keras bukan karena ia memang berat dan keras, melainkan karena kalian sedang dalam kondisi lelah. Bertahanlah, istirahatlah dulu sejenak, lalu lanjutkan perjalanan dengan jiwa dan badan yang lebih siap. Dalam keadaan siap, berat akan meringan dan yang keras akan melunak. Bertahanlah! Selama masih ada niat baik dan kesamaan tujuan menuju kerelaan Tuhan, kalian masih dua orang yang ditakdirkan berpasangan. (*)

*Penulis adalah pemerhati sosial budaya