Andi Djemma dianugerahi gelar Pahlawan Nasional pada tahun 2002 oleh Presiden Republik atas jasa-jasanya kepada negara.
Disaat Belanda berhasil menaklukkan kerajaan Luwu, Andi Djemma mulai mempelajari segala hal mengenai pemerintahan dan tradisi kerajaan dari sang ibu serta pejabat-pejabat tinggi istana.
Sebelum menjadi datu, pada tahun 1919 dia memegang jabatan setingkat wedana di Kolaka. Amanah itu diembannya hingga tahun 1923. Setelah itu dia kembali ke kota kelahirannya, Palopo dan mempersiapkan untuk menjadi datu. Sejak saat itu dia mulai mengenal paham nasionalisme. Dia dipercaya memimpin sebuah organisasi yang merupakan cabang dari sebuah politik di Jawa. Karena kepemimpinannya itulah, segala kegiatannya diawasi oleh Belanda.
Pada tahun 1935, ketika Andi Kombo ibu dari Andi Djemma meninggal dunia, golongan yang pro Belanda berusaha menghalangi pengangkatan Andi Djemma sebagai datu kerajaan Luwu. Namun banyak rakyat Luwu yang mendukungnya, usaha itupun berhasil digagalkan. Karena, mereka mengancam akan mengadakan kerusuhan jika Andi Djemma tidak diangkat menjadi datu.
Selama menjadi datu, organisasi kebangsaan dan agama seperti Partai Serikat Islam Indonesia (PSII) dan Muhammadiyah diberinya lebih banyak ruang untuk menjalankan kegiatannya di Kerajaan Luwu. Meskipun kebijakannya itu kurang disukai oleh para pemangku adat kerajaan.
Setelah kemerdekaan RI diproklamirkan, dia mengeluarkan pernyataan bahwa kerajaan Luwu merupakan bagian dari negara RI. Untuk menyatukan sikap dan menentang kembalinya kekuasaan Belanda. Pada Septeber 1945, dia memprakarsai pertemuan raja-raja Sulawesi Selatan di Watampone. Tidak hanya itu, dia juga merestui pembentukan badan-badan perjuangan Palopo khususnya dan daerah Luwu pada umumnya. Badan-badan tersebut antara lain Pemuda Nasional Indonesia (PNI) dan Pemuda Republik Indonesia.
pada november 1945, pasukan Australia yang mewakili tentara sekutu tiba di Palopo. Kedatangan mereka bermaksud untuk melucuti tentara Jepang. Awalnya hubungan pasukan Australia dan Andi Djemma berjalan tanpa masalah. Namun belakangan masalah baru tibul ketika pihak Australia atas desakan Belanda melarang pengibaran bendera Merah Putih. Selain itu, patrolike luar kota mulai dilakukan pasukan Belanda. Andi Djemma pun mengeluarkan ultimatum untuk mengusir tentara Belanda dalam waktu 2x24 jam. Namun Belanda tidak mempedulikan ultimatum tersebut, maka terjadilah pertempuran dalam kota pada 23 Januari 1946. Meskipun pada mulanya merasa terdesak, akhirnya Belanda dapat menguasai kota Palopo setelah mendatangkan jumlah pasukan yang lebih besar.