Sejak berusia 20 tahun, Andi Mappanyukki telah mengangkat senjata untuk berperang mengusir penjajah Belanda. Dia berjuang membela Kerajaan Gowa di daerah Guung Sari.
Pada tahun 1931, atas usulan Dewan Adat, dia diangkat menjadi Raja Bone ke-32 dengan gelar Sultan Ibrahm, sehingga beliau bernama lengkap Andi Mappanyukki Sultan Ibrahim.
Dia dengan tegas menolak bekerja sama dengan Belanda. "Aku tidak buta dengan mentega dan mulut saya tidak dapat ditutup dengan roti, dan tidak bisa saya menjadi licin dengan susu," kat Mappanyukki yang dikutip dari surat kabar Kebenaran di Makassar. Ucapan itu juga menyebabkan Kebenaran hanya sekali terbit, sebab langsung dibredel pemerintah Belanda.
Karena menolak bersekutu dengan Belanda, dia diturunkan sebagai Raja Bone oleh kekuasaan Belanda. Dia kemudian diasingkan selama 3,5 tahun di ratenpao, Tanah Toraja. Mappanyukki wafat tahun 1967 di Jongaya. Makamnya berada di pemakaman raja-raja Gowa atau Bone lazimya, tetapi oleh pemerintah diletakkan di Taman Makam Pahlawan Panaikang Makassar dengan upacara kenegaraan.
Kepribadian dan integritasnya sebagai pejuang yang pantang menyerah kepada Belanda menjadi suri teladan bagi putra-putra beliau untuk turut berjuang. Hal ini diteladani Andi Pangerang Petta Rani dan Andi Abdullah Bau Massepe yang dikenal uga sebagai pejuang kemerdekaan berasal dari Sulawesi Selatan.