Nama Dadong Irbarelawan sempat menuai banyak perhatian media ketika pria yang sehari-hari berprofesi sebagai Ditjen Pembinaan Pembangunan Kawasan Transmigrasi (P2KT) Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi ini sempat menjadi target incaran badan anti-korupsi Indonesia, KPK, pada 2011 lalu. Irbarelawan resmi berada dalam tahanan KPK berdasarkan tuduhan kasus korupsi dan suap senilai Rp 1.5 miliar terkait dana percepatan pembangunan wilayah transmigrasi pada 19 kabupaten.
Dijaring KPK pada 25 Agustus 2011 lalu beserta barang bukti uang senilai Rp 1,5 miliar tersebut, dua nama lain juga ikut masuk dalam jerat hukum KPK menemani Irbarelawan sebagai Kabag Evaluasi P2KT, yaitu Sesditjen P2KT, I Nyoman Suwisnaya serta Direksi PT Alam Jaya Papua, Dharnawati.
Alumnus SMAN 1 Kuningan Jakarta ini tertangkap tangan saat menerima 'hadiah' yang diantar salah seorang pegawai Kemenakertrans berinisial S. Uang yang dimasukkan kardus bekas bungkus durian tersebut diduga berasal dari Dharnawati yang ditujukan sebagai uang pelicin proyek Percepatan Infrastruktur Daerah Transmigrasi (PPIDT) dari Kementrian Transmigrasi. (Menariknya, kata 'durian' juga sempat berkembang menjadi alegori hitam yang kerap digunakan sebagai simbol suap.
Kasus 'cicak vs buaya' pada 2009 lalu misalnya, buah berduri ini sempat membuat heboh setelah digunakan sebagai kata ganti uang suap yang diberikan Ong Yuliana Gunawan kepada Wakil Jaksa Agung Abdul Hakim Ritonga). Pasca penangkapan Irbarelawan dan Dharnawati, KPK bertindak cepat meringkus Suwisnaya yang saat itu berada di tempat kerjanya, kantor Kemenakertrans, lantai 2, Kalibata, Jakarta.
Pada Februari 2012 lalu, Menakertrans, Muhaimin Iskandar, mengimbau kepada mantan asistennya, Ali Mudhori, agar menaati proses hukum yang berlaku dan mau menghadiri sidang kasus suap PPIDT sebagai saksi kasus yang melibatkan Irbarelawan dan Suwisnaya tersebut. Himbauan ini disampaikan karena Mudhori kerap mangkir dari persidangan dengan menggunakan kesibukan partai yang padat sebagai alasan ketidakhadirannya tersebut. Dua nama pejabat Kemenakertrans tersebut diduga menerima suap setelah uang pelicin dari Dharnawati dihitung dan dibagi oleh beberapa orang yang bertindak selaku 'petugas pembagi jatah', dan salah satunya adalah Ali Mudhori sendiri.