Bagi sebagian besar masyarakat Indonesia, nama Eddy Tansil sudah tidak asing lagi. Dia dikenal sebagai koruptor kelas wahid yang hingga kini keberadaannya tidak diketahui dimana. Sebelum dijatuhi vonis hukuman sebagai seorang koruptor, Eddy Tansil adalah seorang pengusaha Indonesia keturunan Tionghoa yang sempat berjaya di Indonesia. Kehidupan pribadi Eddy Tansil sendiri sepertinya masih menjadi misteri hingga saat ini.
Banyak sekali versi cerita mengenai Eddy Tansil yang tersebar di media. Dalam paspor milik Eddy Tansil tertulis sebagai Tan Eddy Tansil alias Tan Tju Fuan kelahiran Ujung Pandang, Sulawesi Selatan pada tanggal 2 Februari 1934. Namun data yang beredar di publik adalah nama Eddy Tansil dengan nama asli Tan Tjoe Hong kelahiran 2 Februari 1953. Beberapa sumber mengatakan kalau Eddy sempat kuliah di sebuah universitas ternama di Singapura. Namun, belum sampai kuliah tersebut dia selesaikan, Eddy sudah terlebih dulu meninggalkannya dan terjun ke dunia bisnis.
Di awal tahun 1970, bersama ayahnya Harri Tansil atau Tan Tek Hoat Eddy mulai merintis usaha Tunas Bekasi Motor yang merupakan agen tunggal pemegang merek Bajaj. Dia membangun industri perakitan kendaraan bermotor teknologi India itu di daerah Tambun, Bekasi. Karena saat itu, popularitas bajaj sedang berada di puncak maka tidak butuh waktu lama bagi Eddy untuk mendulang sukses. Pada puncak masa jayanya itu, Eddy juga mengambil alih perusahaan perakit sepeda motor Kawasaki. Tak lama setelah Eddy mengambil perusahaan perakit motor Kawasaki, pemerintah melarang mobil roda tiga sebagai kendaraan umum. Produksi Bajaj miliknya pun terpaksa dihentikan, sementara perusahaan perakit motor Kawasaki tersendat di pasaran karena kalah bersaing dengan Suzuki dan Honda. Di awal tahun 1980, usaha Tunas Bekasi milik Eddy akhirnya mengalami kebangkrutan. Utang kreditnya pun tak terbayar. Untungnya walaupun mengalami kebangkrutan, usaha Eddy tak sampai kolaps. Dia masih sempat menyelamatkan industri moulding dan diesnya, PT Materindo Supra Metal Works. Pabrik penghasil cetakan baja pres ini kelak menjadi salah satu tulang punggung kerajaan bisnis Eddy Tansil. Tiga tahun kemudian, Eddy mencoba untuk membangun bisnisnya kembali. Namun kali ini, usaha yang dia bangun dia pusatkan pada pembuatan bir dengan merk dagang Beck's Beer yang berasal dari Bremen, Jerman dan memboyongnya ke Bogor, Jawa Barat. Bir cap kunci itu memang sedang populer di Eropa bahkan bir itu sendiri dikatakan telah menguasai pasar bir di Amerika Serikat. Berdasarkan rekor itu, Eddy mengadu peruntungan baru. Dengan modal awal Rp 2 miliar, dia mendirikan PT Rimba Subur Sejahtera (RSS). Untuk mendirikan perusahaan ini, Eddy menggandeng Koesno Achzan Jein, seorang pensiunan mayor jenderal Angkatan Darat menjadi mitranya. Untuk membangun bisnis ini, Eddy mempertaruhkan segalanya. Dia mendatangkan mesin baru, tenaga penyelia, bahan baku malt, bahkan ragi khusus langsung dari Jerman. Pabriknya semua terkomputerisasi dan bisa dibilang tercanggih di Asia Tenggara. Eddy membangun pabrik Bir Kunci van Bogor benar-benar seperti aslinya di Bremen. Tak hanya itu, untuk menerobos pagar persaingan yang ketat, Eddy juga langsung mendirikan dua distributor yakni CV. Terang Meteor Cahaya dan CV. Sinar Beck Birindo. Dengan persiapan yang demikian rapi, dia yakin bakal menuai kesuksesan. Namun, karena lidah orang Indonesia yang tidak cocok dengan rasa bir Eddy membuat bisnisnya kembali tersendat. Hanya dalam dua tahun, Eddy terpaksa menutup produksi bir kunci di Indonesia. Dikabarkan, Eddy kemudian memboyong seluruh mesin pembuat bir ke Fujian, China. Disana dia mengolah bir dengan merek yang sama dan berhasil menuai kesusksesan besar.
Nama Eddy Tansil tiba-tiba semakin melejit ketika dia menjadi pemberitaan seluruh media setelah pada tanggal 4 Mei 1996 Eddy berhasil melarikan diri dari penjara Cipinang, Jakarta, saat tengah menjalani hukuman 20 tahun penjara. Eddy terbukti telah menggelapkan uang sebesar 565 juta dolar Amerika (sekitar 1,5 triliun rupiah dengan kurs saat itu) yang didapatnya melalui kredit Bank Bapindo melalui grup perusahaan Golden Key Group. Saat itu, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menghukum Eddy Tansil 20 tahun penjara, denda Rp 30 juta, membayar uang pengganti Rp 500 miliar, dan membayar kerugian negara Rp 1,3 triliun. Sekitar 20-an petugas penjara Cipinang diperiksa atas dasar kecurigaan bahwa mereka membantu Eddy Tansil untuk melarikan diri. Sebuah LSM pengawas anti korupsi bernama Gempita memberitakan pada tahun 1999 bahwa Eddy Tansil ternyata tengah menjalankan bisnis pabrik bir di bawah lisensi perusahaan bir Jerman, Becks Beer Company, di kota Pu Tian, di propinsi Fujian, China. Pada tanggal 29 Oktober 2007, Tempo Interactive memberitakan bahwa Tim Pemburu Koruptor (TPK), sebuah tim gabungan dari Kejaksaan Agung, Departemen Hukum dan HAM, dan Polri menyatakan bahwa mereka akan segera memburu Eddy Tansil. Keputusan ini terutama didasari adanya bukti dari PPATK (Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan) bahwa buronan tersebut melakukan transfer uang ke Indonesia satu tahun sebelumnya.