Handung Kussudyarsana adalah wartawan, seniman dan sastrawan kelahiran tanah kesultanan Yogyakarta pada bulan desember 1933, yaitu pada masa pendudukan kolonial Belanda. Lahir di keluarga seniman, Handung dan saudara-saudaranya tumbuh menjadi pecinta seni, hingga menjadi seorang pakar seni kethoprak dan penulis naskah drama pada masa dewasanya.
Handung, anak ketiga dari empat bersaudara pasangan RB Tjondro Sentono dan Siti Aminah ini sangat mencintai seni ketroprak, hingga aktif mengelola Grup Ketroprak Sapta mandala yang saat itu merupakan binaan Kodam VII Diponegoro. Dalam seni peran yang satu ini, Pak Ndung telah menghasilkan lebih dari 160 naskah ketoprak dan sandiwara. Beberapa naskahnya telah diterbitkan menjadi buku, dan banyak karyanya yang menjadi bahan ajar di Leiden University di Belanda.
Tak hanya menulis naskah, ia juga kerap tampil sebagai pemain yang mementaskan naskahnya sendiri. Pernyataan Pak Ndung tentang ketoprak yang terkenal adalah:
“Beberapa ragam bahasa dalam ketoprak menunjukkan watak, kedudukan, trah keturunan, latar belakang dan status sosial tokoh-tokoh yang tampil dalam setiap adegan. Dalam tradisi Jawa, tingkat-tingkat pemakaian bahasa tersebut berkait erat dengan unggah-ungguh, etika, tata krama dan budi pekerti. Artikulasi dialog dalam berbahasa Jawa juga punya arti penting dalam penyajian ketoprak sebagai tontonan, karena pertunjukan ketoprak tanpa didukung artikulasi yang baik akan mengurangi nilai artistik dan estetika, serta menghambat penyampaian makna dialog. Karena itu, selain intonasi dan aksentuasi harus jelas, pemain ketoprak juga harus mampu mengucapkan dialog dengan benar dan lafal yang pas.
Aktif menjadi wartawan dan pimpinan redaksi di beberapa media, Pak Ndung juga masih aktif menulis cerpen maupun novel. Tak kurang dari 70 cerita pendek berbahasa Jawa karyanya, telah dimuat di beberapa majalah bergengsi pada masanya. Ia juga telah menghasilkan 3 novel, yaitu Anggraini, Merah Delima, dan Timbalan Suci/Panggilan Suci. Pak Ndung mengakhiri karir jurnalistiknya pada 1989, namun tetap bekerja sebagai pimpinan redaksi setelah masa pensiunnya tersebut.
Pasangan Pak Ndung dan Sudjilah memiliki 5 orang anak: Bambang Sutrisno Heru, Adrianus Heru Kesawa Murti, Heru Handono Wari, Heru Pradopo Murti, Nila Prabaningrum yang juga tak jauh dari dunia seniman. Bahkan, Heru Kesawa Murti (salah seorang pendiri teater Gandrik) yang wafat pada tahun 2011 lalu, juga menyaingi popularitas sang ayah dalam dunia seni peran dan menjadi salah satu seniman Yogyakarta yang paling dihormati.
Pak Ndung wafat pada 18 Maret 1991, dan dimakamkan teras IV bagiaan kanan Taman Makam Giri Sapto yang terletak di Bukit Gajah, Girirejo, Imogiri, Bantul Yogyakarta, bersebelahan dengan makam sang istri yang wafat setahun setelahnya, yaitu pada 1992. Pesarean tempat Pak Ndung dimakamkan tersebut berdekatan dengan kompleks makam raja-raja Mataram.