M. Hilir Ismail adalah budayawan Bima yang terkenal akan dedikasi, totalitas dan keberaniannya dalam menggiatkan dan melestarikan budaya Bima.
Beliau mendirikan Sanggar Seni Paju Monca pada tahun 1984 di mana anak-anak dari usia taman kanak-kanak sampai sekolah menengah atas belajar dan berlatih menari dan seni musik selama dua kali seminggu. Dengan setia Hilir mengawal dan membimbing anak-anak asuhnya berpacu mengembangkan bakat seni tari dan seni musik. Banyak dari anak-anak didiknya yang mendapatkan gelar sarjana tari dan sekarang sudah memiliki sanggar dan murid sendiri.
Bersama istrinya, Linda Yulianti, yang merupakan guru kesenian dan praktisi tari, Hilir menciptakan karya tari. Pasangan ini seakan saling melengkapi satu sama lain, Hilir memberikan ide dan Linda mewujudkannya dalam bentuk tarian. Salah satu karya mereka, Suba Monca, yang memiliki arti pasukan istana, adalah tari perang yang menggambarkan kisah heroik dan sempat menjadi popular serta kerap kali ditayangkan oleh TVRI pada tahun 1990an.
Kepedulian pria yang lahir di Desa Nata, Kecamatan Palibelo, Kabupaten Bima akan seni tradisi dan budaya Bima tak perlu diragukan lagi. Beliau sama sekali tidak keberatan harus berkorban materi untuk membiayai akomodasi dan transportasi anak asuh dari sanggarnya dari rumah ke tempat pementasan ketika menghadiri pentas di luar daerah karena bantuan dana dari pemerintah daerah relatif terbatas.
Bahkan ketika memenuhi undangan Pemerintah Kota Bima pun, Hilir tetap berkorban. Karena biasanya selain tidak disediakan makan malam di tempat pementasan, sehabis pentas mobil jemputan pun sering tak kunjung tiba sehingga selain harus membelikan makan malam untuk anak asuhnya, Hilir pun harus menyewa kereta kuda untuk mengantar anak asuhnya pulang.
Tantangan terbesar yang pernah dihadapi oleh Mantan Ketua Harian Istana Kesultanan Bima ini mungkin ketika beliau dipercaya merintis berdirinya Museum Asi Mbojo. Gedung bekas kediaman sultan dari Kesultanan Bima yang sedianya akan dijadikan museum tersebut sudah 10 tahun lebih tidak ditempati. Seluruh ruangannya berdebu dan menjadi sarang laba-laba. Ternak sapi dan kambing pun berkeliaran di halaman yang dipenuhi oleh sampah dan semak belukar. Tak hanya itu saja, benda-benda koleksi ataupun lemari pajang untuk memajang benda koleksi pun tak ada.
Kondisi ini tidak menyurutkan Hilir. Beliau merogoh kantongnya untuk membayar orang untuk membersihkan ruang dalam gedung dan halaman. Karena hanya sendiri tanpa karyawan, Hilir pun bertindak sebagai juru kunci sekaligus tukang sapu setiap kali masuk ruang kerjanya. Setelah masalah gedung teratasi dan lemari pajang diberikan atas hibah dari Museum Negeri NTB, masalah Hilir adalah mengenai isi lemari pajang tersebut.
Maka beliau pun berkeliling desa-desa, meminta keringanan hati warga untuk menyumbangkan peralatan rumah tangga, alat pertanian, alat melaut, peralatan untuk acara daur hidup dan pernikahan, dan lain sebagainya. Setelah benda-benda koleksi terkumpul, Hilir pun mulai menata letak benda koleksi agar berkesinambungan dan dapat memberikan gambaran kepada para pengunjung mengenai kehidupan masyarakat Bima.
Dedikasi dan totalitasnya dalam pelestarian seni tradisi Bima juga beliau wujudkan dalam bentuk tulisan. Peran Kesultanan Bima dalam Sejarah Nusantara adalah buku yang diterbitkan pada tahun 1998 dan beredar sampai ke Belanda, Jerman, dan Selandia Baru. Buku-buku lainnya seperti Kebangkitan Islam di Dana Mbojo (Tanah Bima) terbit pada tahun 2004 dan Menggali Pusaka Terpendam, buku bunga rampai yang berisi buah pikirannya tentang adat istiadat dan sistem nilai budaya Bima.
Beliau meninggal pada tanggal 7 Januari 2011, jam 10.43 pagi, di Ruang Tulip, RSUD Bima, setelah dirawat selama 8 hari dengan keluhan sesak napas dan nyeri di paru-paru dan jantungnya. Beliau meninggalkan seorang istri, 10 anak dan 10 cucu. Jenazahnya dimakamkan pada hari yang sama, jam 4.30 sore di tempat kelahirannya, , dihadiri oleh St. Maryam R. Salahuddin dan bupati Bima H. Ferry Zulkarnain.