Nama Syarifuddin Daeng Tutu sudah tidak asing lagi bagi publik Sulawesi Selatan. Daeng Tutu adalah seorang seniman handal yang melestarikan kesenian Sinrili’. Bersama dengan Sinrili’, Daeng Tutu telah melalang buana hingga ke mancanegara. Dia menghibur masyarakat dengan menyampaikan petuah bijak leluhur dalam sastra bertutur khas budaya Makassar, Sulawesi Selatan. Meskipun sarat pesan moral, kesan serius seakan sirna di balik kejenakaan Daeng Tutu. Sinrili’ disampaikan sambil memainkan alat musik gesek, seperti pada biola. Alat musik yang dimainkan sambil duduk bersila ini terbuat dari kayu pohon nangka, kulit kambing, dan dibentangi tiga senar berbahan kuningan.
Alat untuk menggesek dibuat dari ekor kuda. Senar dan ekor kuda yang saling bersentuhan menghasilkan bunyi mirip rebab. Suara khas Daeng Tutu menyatu apik dalam lantunan irama musik yang monoton. Sinrili’ biasa dia sampaikan dalam hajatan, seperti perkawinan dan syukuran rumah baru.Banyak hal dia tuturkan saat menyampaikan sinrili’. Isinya dari falsafah bijak yang diajarkan leluhur hingga mengkritisi kondisi terkini. Daeng Tutu memadukan nasihat dan kritik dalam sinrili’. Metode penyampaian yang dulu hanya menggunakan bahasa Bugis-Makassar dia selingi dengan bahasa Indonesia.
Dia ingin para pendengar memahami substansi informasi yang disampaikan. Daeng Tutu juga berani mengubah gaya tradisional para pembawa sinrili’ yang sebelumnya cenderung kaku dan serius. Dia mengolaborasikan penyampaian informasi dan kritik lewat gurauan yang kerap membuat penonton tertawa. Inovasi itu bisa mencairkan suasana acara yang dibalut formal sekalipun. Daeng Tutu mungkin akan menjadi generasi ketiga sinrili’ di Sulawesi Selatan yang akan menuruskan kesedian tradisi tersebut. Sebelum punah dan ditinggal, Daeng Tutu merasa terpanggil untuk membesarkan keunikan kesenian keso'-keso' ini.
Seniman yang lahir pada tanggal 28 April 1955 ini, adalah sosok yang tak bisa dipisahkan dari perkembangan seni budaya Makassar. Sejak tahun 1970-an, sudah aktif di dunia kesenian tradisional Sulsel. Daeng Tutu adalah adik kandung Sirajuddin Daeng Bantang, yang juga maestro sinrili’ dari Sulawesi Selatan yang meninggal tahun 2010 lalu. Dari kakaknya inilah Daeng Tutu mulai tertarik untuk ikut bermain sinrili’. . Sejak kecil, Daeng Tutu sudah aktif di Sanggar Seni Batara Gowa. Sanggar inilah yang banyak berjasa memperkenalkan seni budaya Makassar hingga kebelahan bumi lain, termasuk sinrili'. Pada tahun 1989, Daeng Tutu bersama kakaknya mendirikan Sanggar Siradjuddin dan menjadi salah satu pembina di dalamnya. Sadar bahwa pasinrilik semakin langka, sepeninggal kakaknya Daeng Tutu mulai tampil lebih dominan. Tampil solo dengan alat musik yang dibuatnya sendiri.
Tahun 1988, Daeng Tutu tampil dalam acara Asian Art Festival di Hongkong. Ia mementaskan sinrili’ bersama pertunjukan tari dan musik kontemporer. Lima tahun berselang (1993) dalam pertemuan teater se-Indonesia di Makassar, Daeng Tutu menyuguhkan sinrili’ yang berkisah tentang Karaeng Pattingalloang, cendekiawan Kerajaan Gowa. Pertunjukan itu berlangsung meriah karena disertai drama yang mengisahkan kiprah Karaeng Pattingalloang. Keberaniannya mengemas sinrili’ secara modern mengundang perhatian seniman di Eropa. Pada tahun yang sama (1993) Daeng Tutu mulai tur keliling Eropa. Daeng Tutu diminta menyuguhkan sinrili’ di beberapa negara Eropa, seperti Jerman, Swiss, Perancis, dan Austria.
Di kancah nasional, kiprah Daeng Tutu dalam memperkenalkan sinrili’ mungkin tak terhitung lagi jumlahnya. Dia kerap didaulat artis Nungki Kusumastuti untuk berbicara mengenai sinrili’ di laboratorium tari Institut Kesenian Jakarta. Tantangannya semakin berat karena pemerintah kurang berkomitmen terhadap pelestarian kebudayaan tradisional. Dalam 10 tahun terakhir, pemerintah tak pernah lagi menyelenggarakan festival budaya secara rutin.